Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Antara (Prosa)

"Jauh di sudut bumi yang paling gersang itulah kita hidup. Dalam pelukan masa lalu yang menjadi dongeng sebelum tidur; kita saling berbagi harapan di sela – sela kisahnya.” Beberapa rindu tidak perlu dikatakan; beberapa rasa tidak perlu dinyatakan; beberapa kata tidak perlu dituliskan. Entah bagaimana kita mampu melewati segala kemustahilan yang terus – menerus menghadang demi tersampainya dua rasa yang terpenggal. Entah bagaimana cara Tuhan menyatukan dua hati yang berseberangan. Entah bagaimana kita melanjutkan perjalanan yang tak pasti mana batasnya. Pada setiap langkah yang kita angkat, hanya nama yang berbunyi dengan lantang; hanya doa yang menjadi bahan bakar. Bangunrejo, 24 Oktober 2021

Makna (prosa)

      “ Bagi rindu, pertemuan jauh lebih bermakna daripada sekadar kata-kata,” Zeventina. Jika cinta bergantung pada harta, apalah daya bila uang tidak lagi berharga. Jika cinta bersandar pada mata, apalah guna bila pandangan telah memudar. Jika cinta berpegang pada kata – kata, apalah hidup bila ucapan tak lagi bermakna. Hei, apakah kita benar – benar saling terhubung? Atau hanya saling terselubung? Jika kita berharap pada doa, apakah cinta kita bermakna? Lebih daripada doa, mencintaimu adalah makna yang tak mampu dipahami dalam kata, juga mata. Awang “Mengapa kau jatuh cinta pada cinta yang tak jatuh padamu? Bahkan kau sendiri tidak memahami hatimu” Ketika senja menghilang, kau terbenam bersama kenang yang menggenang. Ketika maghrib menjelang, kau memerah di seberang. Ketika doa menjulang, kau kembali berpulang. Kau datang mengulang hari yang sempat menghilang.  Hadirlah dalam sunyi gelap malam. Terangilah diamku dalam peluk rindu yang bersemayam. Kau jauh lebih indah dari

Bagai (prosa)

"Seharusnya, cinta tidak perlu dipaksakan. Rasa yang tulus akan menciptakan sikap yang halus. Bagai gurun yang tandus, tak ada yang perlu diperjuangkan selagi yakin tetap lurus.” Jatuh “Tumbuh benih harapan dalam hening senyumanmu. Kuharap itu bukan palsu yang menyamar dengan ragu.” Akirnya, kau menoleh ke belakang. Menatap wajah yang hampir redup oleh harapan. Wajah yang tidak pernah dibasuh ketenangan; wajah yang tidak pernah digosok kesenangan; wajah yang kusut. Kau perhatikan kerutan lembut yang terukir dengan rapi; garis yang menggambarkan jiwa lemah. Kau menatapnya dengan lelah, dan dengan sangat terpaksa kau menghampirinya yang kini sangat susah. Kau mulai membelai, memberi vitamin rasa penyemangat, menanyakan sisi mana yang terluka, mengobatinya dengan cinta. Lalu wajah itu mendadak gembira, tumbuh harapan yang mencuat, lahir senyuman yang tersirat. Namun sebelum rasa itu beranak – pinak, kau tusuk hatinya yang baru saja sembuh dari hampa. Kau tatap dengan ragu, lalu

Pernah (prosa)

  “ Pernah, kan? Merindukan suatu tempat yang dipenuhi lukisan bintang. Membelah kota di sepanjang keramaian. Merobek sunyi yang mendadak kedinginan. Menjadi satu di tengah kehangatan” Pernah “Menemukan dan kehilangan, adalah hidup. Segala yang pernah, pada akhirnya tetap punah” Nahas, debu itu adalah kita. Dari sekian banyak yang berhamburan, hanya kita yang  berlumuran. Malam – malam yang bercorak puitis, menjelma kenangan yang terukir sadis. Benar, bukan? Pada akhirnya, kita saling menyangkal kemungkinan. Pada akhirnya, kita saling menuduh kepastian. Sebelum yang terindah itu pernah; nadi kita seirama, langkah kita beriringan, senyum kita bertebaran. Pernah, sebelum akhirnya tetap punah. Singgah “Mengulang dan berpulang, adalah kenangan. Menjadi kurang dan hanya bersarang” Apa untungnya mengingatmu yang sedari dulu adalah ragu? Rasa pun ragu untuk menikmati kenangan yang hanya sebatas jarang. Kita jarang menyapa, untuk apa bertanya siapa? Kita jarang bertukar kata, untuk

Mencandu

  “ Khawatirku semakin dalam menggali tentangmu. Akankah semesta  menjadikanmu bintang yang kelak disandingkan rembulan atau jatuh ke dalam lumpur yang berharap kecupanmu?”  Larut “Terlalu banyak rasa sakit yang dibalut gelak tawa. Namun larut dalam temu yang menggema.” Jauh sebelum ada pertemuan, gelisahku dipupuk kehilangan. Ada yang lebih sakit dari pahit; perih dari lirih; pedih dari sedih. Ada, jauh sebelum kehilangan dipertemukan. Setelah melumut dalam tawa, sakit tak lagi menakutkan. Ia telah menyatu dalam kehidupan. Menyatu dalam keseharian. Menyatu dalam pertemuan yang selalu dan akan terus mengaduk kita dengan detiknya. Hingga kita melarut bersama waktu. Cemburu “Aku takut jika mimpiku selamanya hanyalah mimpi.” Senyuman, doa, tangisan, tawa, ratapan; adalah residu yang melekat dalam sunyi kerinduan. Perjuagan, rintangan, semangat, lelah; adalah cara rasa menafkahi penasaran. Untukmu, aku melintasi banyak luka dengan penuh suka duka. Untukmu, aku menyelami laut pe

Tanya

  Gila “Seutas rumput terasa nikmat dikecap lidah si penggila. Ia adalah panggung bagi sangka yang tercemar; tawa yang digelar; sinis yang beredar.” Seorang tua yang berjiwa muda memanggul baskom yang berisi larutan kenang. Setiap langkahnya adalah tawa yang menggelegar sepanjang jalan. Selagi hidup, seorang tua selalu mengucap mantra yang tak wajar. Terkadang tersedak sikap bayi yang menggantung di dalam pikiran. Terkadang tersandung batu sadar di dalam jiwa. Seorang tua berlari mengejar fana. Demi menggapai nikmat si fatamorgana; demi menggenggam bahagia si abu yang sirna. Ia tertipu indahnya pesona dalam dekap si buana. Tanya “Derai kata menghujani tempurung rasa. Baik menjelma kutuk yang menyangka; buruk menjadi kata yang sejuk.” Pernahkah kita tenggelam ke dalam batuk sang duka? Ia menelan baik yang tersemat di kepala para benci, lalu menyebarkan aroma buruk dengan dahak yang meledak. Dalam perut sang duka, kita mengendap bersama jutaan dosa.  Sebelum bebas dari pengap

Tanda

  Tanda “Di sela – sela kesunyian, angin membisikkan ranting dalam denting yang melengking.” Terlalu banyak hiburan sehingga lupa penderitaan. Kian malam menjadi retak sebab terlenanya hujan yang melantun hingga larut. Walau tanah selalu ikhlas menerima keluh – kesah derap kaki, namun akar menolak nafas dari awan. Mungkin, ini sebuah tanda. Setiap siang berlaku salah, malam mengingatkan. Setiap siang menaruh kotor, malam membasuhnya. Setiap siang mencuri senang, malam mengembalikannya. Setiap siang menanti semu, malam menjemput dusta. Bungkam “Hampir saja malang menamparku. Bukankah senang masih bernapas dengan nasibnya? Oh, baiklah. Mungkin malam yang akan menjawab.” Hai, malu! Apa kau masih hidup? Saat keburukan mengancammu, kenapa kau malah senyam – senyum? Bisakah kau rendah hati walau pahit? Kau sudah biasa dengan kecut, kenapa dengan pahit kau menghindar? Mengertilah! Luka hadir dari manis yang sebentar. Fokus “Ia kabur ketika lebur. Kau mabur ketika tidur. Maka, sebe

Dan

 " Tahukah apa yang membuatmu dewasa? Ketika awan tidak lagi menangis, bumi menertawakan penduduknya,” Yumin Hoo. Sadar “Terjadinya suatu sunyi yang menggemparkan ruangan hati.” Ketika aku bungkam, bukan berarti aku berhenti mencintaimu. Ketika aku berhenti, bukan berarti aku lelah mencintaimu. Ketika aku lelah, bukan berarti aku bosan mencintaimu. Hanya ketika aku hancur, berarti aku menghilang. Hanya ketika aku menghilang, berarti aku tiada. Hanya ketika aku tiada, berarti aku terpendam.  Semudah itu; sesakit itu. Kau datang dan pergi tanpa permisi, merobek jiwa yang lemah. Terkadang, angin tak semerdu kalimatmu; terkadang, hujan tak seberisik jeritanmu. Sayangnya, kau memilih angin dan aku terhanyut hujan. Dalam gelapnya laut sadar, fakta mengasingkan perasaan. Dan “Cerita yang terpenggal itu adalah kita. Dan waktu menguburnya, dan alam memupuknya, dan langit menyiramnya, dan Tuhan memberi nyawa.” Ada yang mengatakan, “cinta hanyalah soal perasaan. Sejarah menunjukka

Temu

  Temu “Memang, takdir ini  lelucon belaka. Sejauh mana pun aku pergi, tetap saja ada engkau di sana. Dan takdir sengaja mengulang – ulang pertemuan yang sama tanpa sekat perantara” Yumin Hoo. Seharusnya, temu hanya berpasangan dengan pisah. Aku cukup netral dengan keadaan yang semestinya memang begitu. Namun, bila sebaliknya; aku bisa hancur sebab ruang kekosongan.  Seharusnya, takdir tidak bermain dengan kata. Bila pisah hanya berpasangan dengan temu, apalah jadi bila aku harus jemu. Sana – sini hanya kau yang mengisi angan semu. Semua serba tentangmu. Ah, tak ada yang lebih murah selain diskon aku yang bisa melupakanmu. Rangkap “Cobalah menghilang dalam gelap yang abadi. Aku lelah dengan peluh yang sepenuhnya menetes karenamu.” Diagram yang benar adalah setara. Tak ada naik ataupun turun dari rasa yang rentan. Bukankah menyenangkan bila yang terjadi adalah rasa manis yang dibalut senyum tipis? Tapi lucunya aku yang senang memilih rasa manis yang dibalut derai tangis.  Puin

Residu

  “ Sesungguhnya, melangkah perlahan menujumu adalah cara terbaik untuk menikmati kasmaran. Bayangkan bila aku berlari mengejarmu. Jika tersandung sebelum sampai, aku malah menikmati luka yang tak kunjung melupa.” Yumin Hoo. Syahdu “Bersama sunyi, aku menerka kemungkinan yang tak mungkin di logika. Membangun istana di dalam angan, memasang lentera di dalam kamar, menghadirkanmu di tengah temaram.” Melakukan segala yang mustahil adalah suatu keharusan bagiku. Segala yang aneh dan ambigu, di mataku adalah unik nan syahdu. Unik tatkala lekukan bibir bertengger di wajahmu. Syahdu tatkala kasih berhembus membelai jenuhku. Kumpulan kenang yang mengendap di ingatan seakan terbang menyebar ke sudut – sudut waktu. Memungut detik  demi detik yang telah mubazir, menumpuk rindu yang basi di cangkir, menyeduh perih yang nikmat di bibir. Sebelum sampai tenggorokan, segala tentangmu sangatlah syahdu. Setelah turun ke perut, segala tentangmu seakan residu yang tak mampu terlumat. Cintaku meng