Tanya

 Gila

“Seutas rumput terasa nikmat dikecap lidah si penggila. Ia adalah panggung bagi sangka yang tercemar; tawa yang digelar; sinis yang beredar.”

Seorang tua yang berjiwa muda memanggul baskom yang berisi larutan kenang. Setiap langkahnya adalah tawa yang menggelegar sepanjang jalan. Selagi hidup, seorang tua selalu mengucap mantra yang tak wajar. Terkadang tersedak sikap bayi yang menggantung di dalam pikiran. Terkadang tersandung batu sadar di dalam jiwa.

Seorang tua berlari mengejar fana. Demi menggapai nikmat si fatamorgana; demi menggenggam bahagia si abu yang sirna. Ia tertipu indahnya pesona dalam dekap si buana.

Tanya

“Derai kata menghujani tempurung rasa. Baik menjelma kutuk yang menyangka; buruk menjadi kata yang sejuk.”

Pernahkah kita tenggelam ke dalam batuk sang duka? Ia menelan baik yang tersemat di kepala para benci, lalu menyebarkan aroma buruk dengan dahak yang meledak. Dalam perut sang duka, kita mengendap bersama jutaan dosa. 

Sebelum bebas dari pengap yang hampir abadi, kita bertahan dalam kubang kesedihan. Menanti sang duka terbatuk kesakitan, gelap tak pernah berucap. Sampai kita singgah di tenggorokan, tanya menghadang dengan menggenggam harapan.


Benci
“Residu yang terus bertahan tanpa malu dengan tanya. Masihkah tanya ingin mengambang di penghabisan?”
Petang telah menyingkap cahaya di langit. Bintang hadir bertebaran di pucuk atap. Kita lenyap dihantam senyap. Mungkin, bulan takkan berbohong dengan awan yang gelap. Mungkin, awan takkan menutup bulan yang pengap. Mereka tengah berperang dengan sangka masing – masing. 
Kembali dengan harap yang tak kunjung tertangkap. Kita menguji harga dengan kalimat; mencari warna dengan maklumat; menjadi luka dengan khianat. Semua seolah puji yang dibakar benci.

Baru
“Butiran kenang yang melarut dalam rindu yang tercabut.”
Katanya, suara takkan berteriak selama kita masih sadar. Nyatanya, pandangan tetap beredar meski kata menggelegar. Pernahkah kita menjadi abu yang menempel dalam kapur? Pernahkah kita bermandi bubur yang telah dilebur? Seharusnya pernah. Bahkan sering.
Kau dan aku adalah nada yang terdengar melankonis; nadi yang terasa harmonis. Kita memisah dan merentang. Dalam dekap kasih malam, rindu mencabut rasa takut pada kenang yang melarut. Selamat menjadi baru dan menciptakan banyak kerut.

Duri
“Bahkan sebelum selesai lidah sudah menyela. Mungkin lidah memang duri.”
Entah kau paham tentang sopan atau hanya tentang santun. Entah kau cerdas atau hanya berpura – pura. Segala yang melintas tak pernah sudi kau tangkap.
Rasanya, lebih senang menepis daripada menghindar. Sangat sulit menerima satu huruf yang menasihat. Malah, kita melemparnya dengan menambah kata umpat. Seketika waktu itu menjelma duri yang akan menusukkan jutaan aduh. Seketika, hidup ini akan penuh kata keluh.

Lahir
“Hujan hadir mematuhi pinta takdir. Namun lahir dengan penuh tanda getir.”
Dahulu duniaku adalah pengap. Yang jika ibuku berjalan duniaku pun berjalan. Dahulu duniaku sangatlah gelap. Dalam gelap itu aku disuguhi banyak suara.
Saat cahaya mulai datang, ia berkata padaku begini, “akan kubawa kau menuju fana,” saat itu duniaku mengantar jasad mungil ke depan pintu rahim. Cahaya menariknya keluar dengan tali yang disebut asa. Hingga kini, aku hidup dengan memakan asa.

Suri
“Sekali terpejam, ia menggali waktu sedalam haru. Sebelum sinar menjemput benar, mata kita telah fajar.”
Perihal mati yang tak pernah menepati janji seorang pengganti. Mati dan janji berganti roti dalam perut si upeti.
Padahal, jati lebih mengerti tentang arti. Sebelum mati dibangunkan oleh suri yang diberkati, izinkanlah aku menaburkan si melati.


“Benar, bukan? Antara kita tersemat untaian kata. Antara kita termaktub jutaan kata. Dan bila kata menjelma kita, maka mata kita berkata, ‘janganlah kita mengejar takhta yang menjadi kata buta.’”


Yumin Hoo -Serial ketiga dari Fana.

Bangun Rejo, 9 Februari 2021









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenang

Mencandu