Mencandu

  Khawatirku semakin dalam menggali tentangmu. Akankah semesta  menjadikanmu bintang yang kelak disandingkan rembulan atau jatuh ke dalam lumpur yang berharap kecupanmu?” 

Larut

“Terlalu banyak rasa sakit yang dibalut gelak tawa. Namun larut dalam temu yang menggema.”

Jauh sebelum ada pertemuan, gelisahku dipupuk kehilangan. Ada yang lebih sakit dari pahit; perih dari lirih; pedih dari sedih. Ada, jauh sebelum kehilangan dipertemukan.

Setelah melumut dalam tawa, sakit tak lagi menakutkan. Ia telah menyatu dalam kehidupan. Menyatu dalam keseharian. Menyatu dalam pertemuan yang selalu dan akan terus mengaduk kita dengan detiknya. Hingga kita melarut bersama waktu.

Cemburu

“Aku takut jika mimpiku selamanya hanyalah mimpi.”

Senyuman, doa, tangisan, tawa, ratapan; adalah residu yang melekat dalam sunyi kerinduan. Perjuagan, rintangan, semangat, lelah; adalah cara rasa menafkahi penasaran.

Untukmu, aku melintasi banyak luka dengan penuh suka duka. Untukmu, aku menyelami laut perih hingga letih. Untukmu, aku ada meski kau anggap tak bernyawa.

Aku tak peduli dengan ketidakpedulianmu. Aku tak masalah dengan ketidakhadiranmu. Aku tak mengapa dengan setiap mengapa yang kau lemparkan padaku. Aku baik – baik saja. Sungguh. Namun saat mendengar namamu disebutkan dengan yang lain, hatiku meronta. Meski hanya umpama, jiwaku tak terima.


Tapi

“Dengan alasan yang sangat rapi, bayanganmu dibalut tapi.”

Aku mencintaimu dalam lingkup ruang lugu. Seperti sungai mengalirkan air mata ke dataran kasih ibu. Aku mencintaimu dengan penuh rasa haru. Seperti bulan yang bersinar di kala malam tengah rindu. Aku mencintaimu dalam peluk kata candu. Aku mencintaimu dengan rasa tanpa bumbu.  Sungguh, aku mencintaimu tanpa karena.

Tapi sungai takkan mampu membasuhmu yang meragu. Tapi bulan takkan mampu menyinari sesuatu di hatimu. Tapi rindu takkan mampu menyampaikan pesan singkat kepadamu. Tapi aku.. tapi aku mencintaimu dengan candu, tanpa bumbu, tanpa ragu.


Rindu

“Benih sendu yang bertunas dalam kalbu. Mungkin nanti, esok, atau entah; semu tumbuh dalam semi.”

Kemarin, air berkata pada api, “jika kau mampu memelukku, maka aku mencintaimu”. Dan kisah akan dimulai setelah  api padam dengan tersenyum.

Hari ini, otak berpesan pada hati, “janganlah kau berani mengenal cinta. Ia adalah api yang sedang kelaparan. Sebelum kau hangus karenanya, carilah air untuk bisa berdamai dengannya”.

Esoknya, cinta datang memelukku sembari berkata, “hanya rindu yang mengerti maksudku. Akulah api yang akan menghangatkanmu; akulah air yang akan mendinginkanmu”.


Percaya

“Dunia ini umpama kertas, bukan? Yang hanyut dalam detik meski harus menunggunya. Semoga, hatimu tenggelam dalam doa yang mengalir di nadiku.”

Percaya atau pun tidak, hanya doa yang mampu mengubahnya. Hatimu, sikapmu, dan langkahmu akan berjalan menujuku yang menjadi rumah untukmu. Seharusnya begitu. 

Jika terlalu berlebihan, maka izinkanlah semesta menaburkan butir harap kepadamu. Agar kau tahu, setiap malam puisiku berterbangan di langit – langitmu; mengantarkan rindu di bawah selimutmu. Semoga, kau mau memungutnya. Meski hanya kata “rindu”.

“Sudahkah kau menemukan kepingan puzzle yang tercecer itu? Kau sendiri yang menyusunnya, kau juga yang menghancurkannya. Tidak sengaja tersampar, katamu? Kau tahu? Aku menyimpan kepinganmu, menunggumu mencariku. Dalam genggaman yang lemah ini, aku membawakannya untukmu. Untukmu, satu hati dengan gambar penuh luka.”


Yumin Hoo

20 Februari 2021

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang