Pernah (prosa)

  Pernah, kan? Merindukan suatu tempat yang dipenuhi lukisan bintang. Membelah kota di sepanjang keramaian. Merobek sunyi yang mendadak kedinginan. Menjadi satu di tengah kehangatan”

Pernah

“Menemukan dan kehilangan, adalah hidup. Segala yang pernah, pada akhirnya tetap punah”

Nahas, debu itu adalah kita. Dari sekian banyak yang berhamburan, hanya kita yang  berlumuran. Malam – malam yang bercorak puitis, menjelma kenangan yang terukir sadis. Benar, bukan? Pada akhirnya, kita saling menyangkal kemungkinan. Pada akhirnya, kita saling menuduh kepastian.

Sebelum yang terindah itu pernah; nadi kita seirama, langkah kita beriringan, senyum kita bertebaran. Pernah, sebelum akhirnya tetap punah.

Singgah

“Mengulang dan berpulang, adalah kenangan. Menjadi kurang dan hanya bersarang”

Apa untungnya mengingatmu yang sedari dulu adalah ragu? Rasa pun ragu untuk menikmati kenangan yang hanya sebatas jarang. Kita jarang menyapa, untuk apa bertanya siapa? Kita jarang bertukar kata, untuk apa bertanya cinta? 

Sudahlah, kita tak bisa singgah bersama. Kau yang meminta, aku yang menerima. Kau yang melukai, aku yang mencintai. Kau yang melumuri, aku yang mengelapi. Rumah kita adalah derita; atap kita adalah duri; alas kita adalah darah. Bukankah kau yang mendesain? Maaf, jiwaku beranjak.

Hasrat

“Hanya sebutir ingin, lalu menjadi angan, berakhir menjadi angin”

Kau pernah meminta untuk tidak beranjak demi waktu yang panjang. Kau pernah meminta untuk tetap di jalur yang sama. Kau juga pernah meminta untuk berhenti saling mengeluhkan perbedaan. Tapi pernahkah kau memintaku untuk membuat permintaan? Sampai sekarang kau tetaplah manusia yang berjiwa penuh hasrat. Tanpa melihat yang tersiksa di kedalaman.

Curang

“Dunia ini dipenuhi hal yang curang. Terjadi di mana saja; menghilang begitu saja”

Kurang ajarkah aku bila harus membencimu? Kurang baikkah aku bila meninggalkanmu? Kau hanya diam sembari menjauh. Memberi sang jarak untuk menggantikan peran. Lalu, kau menghilang bersama senja yang meredup di ujung barat.

Ulang

“Semakin lama  aku membenci; segala tentangmu semakin dalam merasuki”

Membencimu hanya akan mengantarkanku pada kenangan. Bukan rindu yang memaksaku kembali. Bukan juga sisa – sisa rasa yang menyeretku kembali. Malah, dari benci engkau abadi.

Benar, memang. Benci umpama api yang membara. Kau nyalakan dengan amarah; kau terbakar dengan gelisah. Itulah aku; itulah fakta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu