Bagai (prosa)

"Seharusnya, cinta tidak perlu dipaksakan. Rasa yang tulus akan menciptakan sikap yang halus. Bagai gurun yang tandus, tak ada yang perlu diperjuangkan selagi yakin tetap lurus.”

Jatuh

“Tumbuh benih harapan dalam hening senyumanmu. Kuharap itu bukan palsu yang menyamar dengan ragu.”

Akirnya, kau menoleh ke belakang. Menatap wajah yang hampir redup oleh harapan. Wajah yang tidak pernah dibasuh ketenangan; wajah yang tidak pernah digosok kesenangan; wajah yang kusut. Kau perhatikan kerutan lembut yang terukir dengan rapi; garis yang menggambarkan jiwa lemah. Kau menatapnya dengan lelah, dan dengan sangat terpaksa kau menghampirinya yang kini sangat susah.

Kau mulai membelai, memberi vitamin rasa penyemangat, menanyakan sisi mana yang terluka, mengobatinya dengan cinta. Lalu wajah itu mendadak gembira, tumbuh harapan yang mencuat, lahir senyuman yang tersirat. Namun sebelum rasa itu beranak – pinak, kau tusuk hatinya yang baru saja sembuh dari hampa. Kau tatap dengan ragu, lalu tersenyum dengan lugu. Wajah itu mendadak gelap dengan hati yang terkapar. Akhirnya, kau pergi mengungkap palsu.

Lebam

“Mungkin, terluka lebih baik dari suka yang berduka. Sebab sakit yang spontan lebih nikmat dari yang tertunda.”

Menyulam perasaan yang rapuh dengan yang utuh tidaklah sulit. Kau hanya perlu melukai, lalu pergi. Biarkan aku yang kesakitan ini berteman dengan waktu yang mengajariku berdiri. Aku takkan keberatan dengan apa yang kau lakukan. Bagiku, melihatmu bahagia sudah lebih dari cukup. Perihal sebabnya aku atau bukan, bukanlah masalah. 

Tugasku kini hanyalah berpura – pura bahagia, berpura – pura tersenyum, berpura – pura normal. Tentang fakta bahwa di dalam kepalaku terjadi perang hebat, bukanlah masalah. Tentang fakta bahwa hatiku meledak, bukanlah masalah. Meski kau menyadari kalimatku lebam, dan kau berpura – pura terpejam, bukanlah masalah. Sebab terluka secara langsung lebih nikmat dari janji yang terlupakan. Untungnya, kau tak pernah berjanji. Bodohnya, aku tak pernah berhenti.

Virus

”Harapanku takkan runtuh walau engkau sangat jauh. Jarak mengajarkan kita tentang dewasa, juga membuat cinta hampir binasa.”

Berjarak denganmu mengajariku arti dewasa, di mana luka mengubah hidup lebih bermakna. Mencintaimu perlu jeda agar luka jiwa mereda. Terkadang cinta tidak selalu tentang rasa, terkadang cinta juga merujuk pada kata. Cinta membodohiku dengan kalimatnya yang berbisa. Akibatnya, kau terkena imbasnya. 

Biarpun cinta kau nafikan dengan cara yang kejam, cinta tetaplah hidup di dalam jiwamu. Kita adalah benih dari kasih sayang Tuhan. Biarpun kau jauh dari harapan, mencintaimu adalah mutlak. Dan aku yang terinfeksi ini hanya mampu berdoa dengan kata sederhana. 

Sepasang

“Jika takdir adalah jawaban atas apa yang diharapkan, maka teruslah berdoa dengan sabar”

Pada angkuhmu aku berlindung, mencari naungan yang membentang sangat luas, namun aku tetap mengawasimu. Pada sedihmu aku bertakhta, menjadi senja yang tenggelam dalam kata, namun aku tetap melindungimu. Pada hatimu aku bersabar, menanti rasa yang terbit dari baliknya, namun aku tetap memelukmu.

Pada waktu aku menunggu, pada laut aku terbuka, pada bintang aku berharap, pada engkau aku bahagia. Lalu semesta berkonspirasi mempertemukan sepasang jiwa, sepasang hati, sepasang kata yang menjelma satu makna; aku dan engkau, menjadi kita.

Puasa

“Menantimu adalah puasa yang tiada berbuka. Puasa yang bukan sekadar menahan luka, puasa yang juga menunda bahagia”

Mencintaimu adalah puasa. Melupakan segala bentuk perhatian demi satu cerita. Tiada masa selain terluka, tiada rasa selain berduka. Puasaku tiada waktu, tiada pula berbuka. Hanya ketika doa – doaku berhamburan di angkasa, menjelma jutaan bintang, aku melafalkan ulang niat tulusku kepada-Nya, bahwa hatiku benar – benar siap berpuasa.

Siap belum berarti kuat. Nyatanya, belum mencapai finish hatiku mulai meronta. Mengeluhkan kebijakan Tuhan. Kenapa hati yang berpuasa dengan ikhlas dikhianati jiwa yang berkelana dengan puas? Hei, ini hidup, bukan drama. Hati dan jiwa tidak pernah akur dalam kisah nyata. Meski hanya cerita, kuharap hatiku bisa berbuka. Dan engkau adalah maghrib yang selalu dinantinya.

Engkau adalah maghrib untuk hatiku yang selalu berpuasa dengan tulus. Menjelang sore ia berdoa dalam kelam, berharap hari segera terpejam. Namun waktu tak pernah mengizinkan. Hari selalu siang dan hati belum pernah berbuka; sama sekali.”


Bangun Rejo, 21 Mei 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu