Temu

 Temu

“Memang, takdir ini  lelucon belaka. Sejauh mana pun aku pergi, tetap saja ada engkau di sana. Dan takdir sengaja mengulang – ulang pertemuan yang sama tanpa sekat perantara” Yumin Hoo.

Seharusnya, temu hanya berpasangan dengan pisah. Aku cukup netral dengan keadaan yang semestinya memang begitu. Namun, bila sebaliknya; aku bisa hancur sebab ruang kekosongan. 

Seharusnya, takdir tidak bermain dengan kata. Bila pisah hanya berpasangan dengan temu, apalah jadi bila aku harus jemu. Sana – sini hanya kau yang mengisi angan semu. Semua serba tentangmu. Ah, tak ada yang lebih murah selain diskon aku yang bisa melupakanmu.


Rangkap

“Cobalah menghilang dalam gelap yang abadi. Aku lelah dengan peluh yang sepenuhnya menetes karenamu.”

Diagram yang benar adalah setara. Tak ada naik ataupun turun dari rasa yang rentan. Bukankah menyenangkan bila yang terjadi adalah rasa manis yang dibalut senyum tipis? Tapi lucunya aku yang senang memilih rasa manis yang dibalut derai tangis. 


Puing

“Serpihannya menimpa bahagia; sehingga ia menjelma sedih. Runtuh dihempas rasa jenuh.”

Dunia setelah kepergianmu adalah kiamat kecil yang cukup dahsyat untukku. Melepaskanmu dalam peluk yang tertekan adalah sakit yang nyelekit. Lebih baik bila tanah yang tertekan; ia akan membentuk sesuatu yang beraneka ragam. Namun bila hati yang tertekan, bisa engkau tebak bahwa semesta juga paham; hati sangat rentan akan kerusakan. Lalu serpihannya yang tercecer, takkan mampu kembali dengan semestinya tanpa engkau yang memungutnya.

Janji

“Hal termanis di dunia adalah janji. Sebab itulah mengapa kita semua suka. Tanpa menyadari hati yang kian tertekan sebab berat yang ditimbulkannya.”

Kita lebih suka bertutur  dari berdiam; mengkritik dari mendengar; tertawa dari tersenyum; selingkuh dari setia. Seolah semua kita ratakan demi satu tujuan. Padahal, tujuan kita hanya bahagia. Mengapa harus diobral kalau bisa dibeli? Mengapa harus diminta kalau bisa diberi? Mengapa harus dipisah kalau bisa dicampur? Mengapa harus dikhianati kalau bisa dipercayai? Janji memanglah busuk. Selagi bersama, jujur adalah perekat; janji adalah percepat.


Dari

“Darimu aku belajar menghargai perasaan; belajar menerima keadaan; belajar mengorbankan kesedihan; belajar menyatukan perbedaan.”

Sekarang, engkau di mana? Kuharap pandemi tidak menelanmu dalam – dalam. Tanpamu, aku bagaimana? Kuharap hariku bermakna. Meski dalam pengawasan, aku tetap keluar berkelana. Mencari hidup yang abid; terseret zaman yang abad. Abid dan abad adalah konspirasi yang unik; waktu yang mengajarkannya.

Sesekali aku kembali sekadar melihatmu dan belajar. Meski agak sakit aku tetap tersenyum. Ternyata, kenangan itu menjadi teman yang hebat untuk melawak; bila kita mau melihat dengan hati terbuka dan pikiran yang lapang. Sesekali aku meluncur ke depan sekadar menerka bahwa tanpamu aku tetap berjalan. Tanpamu, aku tetap tersenyum. Darimu, aku bisa bahagia. 


Pucuk

“Dahulu, di dekat pohon pinus kau pernah bilang, ‘cukup disentuh ranting ini akan patah.’ Ternyata, kau benar – benar mematahkan hatiku dengan sangat sederhana.”

Ungkapan yang sangat ringan untuk kehancuran terdahsyat. Apa yang kau rencanakan selama kita saling bertautan? Kuharap, setelah hubungan ini patah; semua tak pernah nyata. Berkali-kali aku mengutuk keadaan; berkali – kali aku memaki kebodohan.

Setelah pertemuan, perbincangan, persahabatan, percintaan; lahir perjanjian, pertikaian, perpisahan, permusuhan. Itulah kita; itulah hidup. Atau, aku yang terlalu naïf menerima ajakanmu sebelum mengenal aslimu.


Noda

“Bercak yang membekas di dalam dada hanyalah cipratan kecil daripada kekecewaan. Ada yang lebih parah dari rasa kecewa itu sendiri. Ada..”

Kehadiranmu menjadi musibah bagiku. Jejak yang susah payah kuhapus, kini terbentuk kembali dengan utuh. Netra kita bertabrakan, senyum itu berhamburan; melemahkan jiwa raga yang kokoh.

Kenapa dengan liciknya senyumanmu menusukku? Kenapa dengan kejamnya matamu menyayatku? Kenapa dengan ganasnya hadirmu membunuhku? Seolah mandi darah pertemuan, sekujur tubuh berlumur penyesalan. Menyesal melihatmu dengan penuh kekaguman. Padahal, setengah mati aku mencoba melupakanmu.


“Ada kala di mana hari sangat cerah. Namun, setelah hati kita patah, semua hari terasa sama; mendung membalut ruang waktu.. Meski kita berhasil melupakan, ada kala kita diingatkan. Dan kita terpuruk dalam pedih yang sangat lama.”


Yumin Hoo

Bangun Rejo, 20 Januari 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu