Residu
“Sesungguhnya, melangkah perlahan menujumu adalah cara terbaik untuk menikmati kasmaran. Bayangkan bila aku berlari mengejarmu. Jika tersandung sebelum sampai, aku malah menikmati luka yang tak kunjung melupa.” Yumin Hoo.
Syahdu
“Bersama sunyi, aku menerka kemungkinan yang tak mungkin di logika. Membangun istana di dalam angan, memasang lentera di dalam kamar, menghadirkanmu di tengah temaram.”
Melakukan segala yang mustahil adalah suatu keharusan bagiku. Segala yang aneh dan ambigu, di mataku adalah unik nan syahdu. Unik tatkala lekukan bibir bertengger di wajahmu. Syahdu tatkala kasih berhembus membelai jenuhku.
Kumpulan kenang yang mengendap di ingatan seakan terbang menyebar ke sudut – sudut waktu. Memungut detik demi detik yang telah mubazir, menumpuk rindu yang basi di cangkir, menyeduh perih yang nikmat di bibir. Sebelum sampai tenggorokan, segala tentangmu sangatlah syahdu. Setelah turun ke perut, segala tentangmu seakan residu yang tak mampu terlumat. Cintaku mengendap.
Berhentilah
“Permainanmu sangatlah seru. Tidakkah engkau lelah berlari? Kumohon, berhentilah, mari beristirahat.”
Lelucon yang kubuat sendiri adalah mencintaimu. Bagaimana tidak? Aku mengejarmu yang berlari menjauh. Wajar, aku ini menyeramkan. Wajahku tak seindah sosok plastik idamanmu. Bahkan, kenorakan sikapku menjadi pantangan bagimu.
Kita sedang bermain kejar – kejaran, bukan? Sampai kapan kau terus berlari menghindariku? Kumohon, berhentilah. Aku mengaku kalah. Aku ingin menangkapmu dan beristirahat bersama.
Tetap
“Berjuta kenapa mengantre jawaban. hatiku menggenggam satu kunci untuk membuka satu kata. Lihatlah, betapa hati menahan perih sebab hangus terbakar harapan.”
Terkadang, harapan nikmat ketika awal perjumpaan. Meski ragu memulainya, aku tetap butuh itu. Terkadang, harapan pahit ketika mulai digantungkan. Meski berat mengakhirinya, aku tetap butuh itu. Terkadang, harapan hambar ketika ditinggalkan. Meski malu bersamanya, aku tetap butuh itu.
Berhenti berharap sama saja mati sia – sia. Tanpa harapan, kita seoalah daun kering yang terpisah dari pohonnya. Terhempas khawatir dan tak lagi jelas adanya. Sebelum membuka satu kata yang mewakili harapan, kumohon, bersedialah menyambutku dengan senyum yang merekah.
Esok
“Kembali merintih dalam kenistaan. Cobaan, akan terus mencoba hingga tak merasa. Ujian, akan terus menguji hingga tak mencari.”
Sekali berjalan takkan sempat berhenti. Ketika kecil, kau terluka dan spontan menangis. Lututmu berdarah, esoknya sembuh. Namun kini, hatimu cidera, esoknya sembuh? Haha.. terluka hanya berlaku untukku; kau cukup menjadi sebab.
Kini, aku mencintaimu dengan tulus. Menggenggam bara di setiap detiknya. Menyebut – nyebut namamu di tengah hening malam; merapalkan sajak rindu di sela kabut malam.
Pada setiap luka yang menipis, semoga cinta tak pernah kempis. Pada setiap perih yang mereda, kuharap esok terasa berbeda. Kau dan aku duduk bersama, menerka bahagia di masa setelahnya. Semoga – esok – berubah.
Gejolak
“Dingin. Luapan batin menembus pertahanan jiwa; meledak hingga mencuat.”
Rasanya, aku tenggelam ke dasar nestapa. Sedihnya, aku terhunus fakta yang sirna. Nahasnya, aku kembali dengan fana.
Ternyata, aku salah melihat. Kau hadir sekadar menatap, tidak menetap. Ternyata, aku salah mendengar. Kau berkata sekadar meredam, tidak menggenggam. Ternyata, aku salah menunggu. Kau pergi menghabiskan, tidak menyisakan.
Tiada
“Setetes kata mengalirkan air mata. Pergi dan sirna; tanpa dan lupa; ada dan tiada.”
Kembali dengan rasa, semua terlihat biasa. Apa pun, semua tetap sama. Tak ada lagi karsa; tak ada lagi purnama; tak ada lagi bahagia. Semua sekadar tercipta, lalu tiada.
Cair
Gempa
Karena
Komentar
Posting Komentar