Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Dengan

  “Langit bercerita perihal doa yang mengambang di tangannya. Mengupas kata yang melekat pada rasa, menyantap sajak yang tak kunjung tersampaikan. Mengulas bukti yang berjajar di matamu.” Yumin Hoo. Demi “Pertunjukan sederhana yang sangat dramatis adalah ketika awan memeluk mentari yang tak sengaja terbuai. Ia lupa bahwa ia bisa hangus karenanya. Itulah cinta.” Mengalunlah dengan santai. Aku tengah sibuk menyusun panggung untuk pertunjukkan elok nantinya. Jemariku takkan pernah lelah menari untuk terus menghibur galaumu. Teruslah bersedih agar aku juga terus menghibur. Kapan kau membutuhkan alat bahagia, ambillah. Ambillah bahagiaku untuk menukar sedihmu. Aku takkan pernah keberatan, sedikitpun. Selagi kau masih mau menyaksikan, aku rela untuk terus berputar, berjingkat, bersakit-sakitan demi senyumanmu; demi bahagiamu. Mungkin “Setiap kita mempunyai satu pinta yang terkadang hanya ingin; tidak nyata dan juga tidak ada. Hanya angan yang selalu bersandiwara. Merobek logika deng

Bertahan

  “ Mencintaimu adalah candu terparahku. Kendati, partikel rindu mengendap bersama pilu, menyusup pelan menuju jantung. Biarpun lara terus – menerus menusuk; mendambamu seolah nikmat tersakitku. ” Yumin Hoo. Ada   “Sangat mudah membuatmu jatuh cinta. Aku hanya perlu menjelma uang, menjadi bagian dalam keseharianmu. Karena meski kau menolak; kau tetap butuh.” Mungkin ini sebuah kontradiksi. Anganku terus berlari mengejarmu, sementara realita; sikapmu terus – menerus menepisku. Tapi biarlah, cinta itu memang bodoh. Akalku yang terlanjur kau genggam sudah tak mampu digunakan sebagaimana mestinya. Sudah menjadi hak milik untuk kau rawat atau pun kau hancurkan. Karena bagi Pendamba, lara sudahlah biasa. Oh, ya, aku ini seperti uang bagimu, yang bersembunyi di dalam dompet. Ah, bukan, tepatnya di ruang hatimu. Aku tahu, diam – diam kau menyembunyikanku di dalam saku, kan? Diam – diam kau membutuhkaku sekadar menepis angan, kan? Aku tahu. Kita saling terkoneksi; bahkan saat kau menjauhi

Bendera Santri ( musikalisasi puisi)

Menyambut hari indah yang penuh makna, sedikit rasa timbul merayakannya. Meski hanya untaian sederhana; semangat kita tetap terus menggelora.  Selamat Hari Santri Nasional,

Masih (prosa)

  "Bersama pilu di sebelah, membawa serpihan hati yang sempat tercecer, aku berlari mengejarmu. Sempat beberapa kali terjatuh, terpleset, hingga terluka. Namun sekelam apa pun, puncaknya adalah senyummu, yang mampu mewarnai hidupku.” Yumin Hoo. Masih " Masihkah waktu mau berpihak? Kembali sejenak demi mengulang masa itu; demi mengenang rasa itu; demi mendengar suaramu.” Hai, kau yang tengah berjuang, masihkah ingat obrolan ringan di kala senja? Kurasa tidak. Kita berdiri saling menghadang, membahas ilmu yang tak mudah digenggam. Kau bilang bahwa, “dunia ini sangatlah menipu. Siapa pun yang masih tertipu, berarti bodoh.”  Jangankan dunia ini, melihat sosokmu saja akalku telah tertipu; mata dan bibir yang melengkung itu, adalah kelemahan utama yang mampu menjatuhkan hatiku. Meski begitu, hatiku masih kuat berdiri demi mengejarmu; lagi dan lagi. Hambat “ Tanganmu mengepalkan isyarat keras, bahwa aku harus tetap betah di tempat; menanti hati yang mendarat di hadapan, sampa

Ketika Aku Sadar (cerpen)

  “Ketika aku sadar, tanganku masih menggenggam hatimu; ketika aku sadar, mataku masih melirik sosokmu; ketika aku sadar, hatiku masih mengharap cintamu; aku rapuh. Tak ada yang kacau selain jiwa. Dan aku terjebak di ruang nestapa.” Yumin Hoo. ***  Semarang malam itu, lalu lintas dipadati kendaraan. Kami berniat menghabiskan malam minggu di Alun-alun, namun harus rela berbagi napas dengan debu dan polusi di sepanjang jalan.  “Kau mau masker?” Tawarku, saat mengendarai.  “Tidak, terima kasih. Aku sudah ada,” jawabnya.  “Kenapa tidak dipakai?” Tanyaku.  “Karena kau tidak, maka aku juga,” pungkasnya.  Kurasa ia ingin sepadan denganku. Pemikiran, tingkah laku, dan hati; barangkali juga sama. sepanjang jalan kami membisu, hingga sampai di Alun-alun.  Supra tua kutaruh di bibir jalan, lalu kami bergegas menuju ke tengah lapangan. Tanpa disuruh, tanganku spontan meraih tangannya, kugenggam erat, bergandengan sampai tempat tujuan. Kami duduk bersama, bersila, menikmati kerlipnya suasana Semara

Fana (prosa(

  “Masihkah ada jiwa yang terbelenggu waktu merana? Masihkah ada akal yang tertipu indahnya pesona? Masihkah ada, hati yang keras tanpa merasa hina? Jikalau engkau sadar, semua hanyalah fatamorgana yang tak kunjung sirna.” Yumin Hoo.                                   Tiada “ Tentang jiwa yang seharusnya tak pernah ada. Jiwa yang hidup namun dianggap mati; jiwa yang berisik namun terdengar sepi.” Pernah kau melihat angin? Banyak persepsi yang menggambarkan tentang angin. Beragam bentuk melintas di dalam angan. Angin dan angan merupakan kolaborasi yang menarik; angin di dalam angan. Hanya itu yang tergambar. Aku ingin menjadi angin; yang faktanya ada namun tak kasat mata; yang tak kasat mata namun bisa dirasa; yang bisa dirasa dan juga dipercaya.                                     Ragu “Batas yang tak kunjung disentuh, menjadi buram dan semakin transparan.” Terkadang fakta tak sejalan dengan pikiran. Ketika dihantam masalah, akal selalu menyangkal; ketika dihidangkan tempe, a

Vaksin Zombie (cerpen)

 Banyak hal yang tidak tertulis. Perihal fakta yang mengambang dalam kehidupan. Dan aku, tetaplah mengendap di dalam awan. Fakta tersebut seolah jauh terbentang. Aku tak mampu meraihnya meski ada di hadapan.  Tahun 2021 di bulan Desember. Bumi seolah kiamat. Bermula dari  Januari  2019, jutaan tentara tak kasat mata menyerang dunia. Pasukan makhluk mengerikan  hingga kini tak kunjung sirna. Banyak mayat tercecer di pinggiran jalan yang tak lagi berupa orang. Tidak ada yang berani menyentuhnya meski dengan pakaian pengaman. Inilah hidupku yang berada di penghujung zaman. “Satu kata yang mewakili perasaanmu?” Pinta temanku di layar kaca genggam. “Shit, Man! Aku bisa gila jika terus mengendap di rumah!” Umpatku kepadanya. “Ahhahaa.. kau pun mewakili perasaanku. Aku senang berteman denganmu.” “To the point! Apa maksudmu menelponku?” Tanyaku tak sabaran. “Aku punya informasi yang menarik.  Datanglah ke rumahku, akan kuberitahu rahasia.” Jawabnya singkat, lalu mematikan telepon.

Perlahan (prosa)

 “ Perlahan bayangmu memudar, tertiup waktu dan melayang ke simpang. Perlahan senyummu melebur, terkupas lupa yang kian menerpa. Perlahan sosokmu menghilang, tertutup jarak di ujung barak. Kita melupa.” Yumin Hoo.                                     Waktu “Imajinasi adalah mesin waktuku. Dengannya aku bisa pergi ke mana pun aku mau. Nahasnya, ia hanya mau kembali ke masa lalu sekadar untuk melihatmu.” Salahkah kita bila terbentang? Seolah bumi tidaklah rela dengan tangan mencengkram. Teramat jauh, juga lama. Hingga kita sama – sama melupa; menjadi timur dan barat yang tak pernah  menyapa, sebab sulitnya mengungkap kata. Waktu, dialah penyebab hilangnya rasa. Andai dia bisa kembali, aku takkan segan memelukmu erat. Namun tanganku tak lagi mampu menggenggammu. Waktu hanya mau berjalan maju, tak bisa berhenti maupun kembali. Kalau pun bisa, aku hanya cukup menutup mata seraya mengubah hari di tempat yang sama. Kita duduk di bibir pantai, mencengkeram erat sela – sela jemari, sembari mena

Cerita Kakek di Kala Senja (cerpen)

  Ini tentang Kakek yang telah berusia 92 tahun. Bernafas sendiri tanpa ada sandaran hati; tak ada canda tawa terbagi rapi; tak ada kisah lama yang bisa disebar lagi; tak ada harapan di ujung usia kini. Hidupnya sepi, sesepi.. kuburan.  “Untuk apa umur yang panjang bila tidak ada kebaikan?” Gerutu kakek di teras rumah. “Untuk apa berdiam diri di depan teras bila tidak melakukan apa –apa?” Balas Singgih –cucu yang cerdas dan baik hati. Si Kakek hanya diam, wajahnya yang seolah datar meratapi nasibnya. Singgih diutus kedua orang tuanya untuk selalu datang setiap sore di rumah Kakek, sekadar membersihkan rumah, memasak air dan nasi, lalu mendengarkan celotehan Kakek hingga petang tiba. Sebenarnya Kakek adalah orang kaya, punya lahan luas, juga lima anak yang pandai dan sukses di berbagai macam bidang. Pernah suatu ketika Singgih bertanya perihal masa lalu Kakek. Tanpa segan Kakek menceritakan segalanya, bahkan derita terdalamnya sekalipun. “Zaman dulu, sebelum muncul yang namany

Cinta dan Tragisnya Janji (cerpen)

"Mungkin secara naluri kisah ini akan membawa banyak ambigu dan tak ada pesan yang bisa menggambarkan makna kehidupan. Namun jika pikiranmu tak mau dibilang mati, maka temukanlah makna yang tersirat." "Jika bisa dibilang cinta, maka hanya pembuka yang mampu melukiskan kisahnya. Selebihnya terlihat nyata bahwa kisahku sangatlah tragis." Muttaqin. Pagi hari di jam istirahat, aku menyepi di sudut perpustakaan. Membaca novel karya Yonezawa, Hyouka, melamunkan kejadian heroik yang penuh teka – teki. Cukup lama. Hingga terasa sofa panjang yang kududuki seperti merosot. Ternyata wanita berkerudung ungu bersandar di sebelahku. Menyapaku dengan ramah, dan menyatukan kedua telapak tangannya, sekadar isyarat untuk memberi salam dan perkenalan.             “Jannah,” katanya, memulai perkenalan.             “Muttaqin, atau bisa kau panggil Taqin.” balasku dengan sedikit gemetar.             Perkenalan yang singkat. Aku kembali tenggelam dalam buku, dan ia sibuk berenang

Asa (prosa)

     “Untukmu, cahaya indah yang bernyawa, izinkanlah aku menulis untukmu, tentangmu; meski kutahu takkan sampai di pelukan jemarimu, atau bahkan mengendap di dalam awan, sinarmu takkan lenyap ditelan waktu.”   Yumin Hoo Tentangmu       “Seberkas kisah yang dibungkus dengan rekat, terurai lembut dihempas sinar yang hangat. Tentangmu, cahaya yang tak mampu kuraih dengan tangan, akan kupeluk dalam angan.”   Kehidupanku adalah serangkaian repetisi yang dipenuhi kebosanan. Kisahku tertulis monoton dalam catatan harian. Tak ada yang istimewa, tak ada yang menarik. Hari – hariku yang sebenarnya adalah kepalsuan. Dan aku terjerumus di dalam kesepian. Ada yang kurang dari catatan yang sebenarnya. Seolah kepingan puzzle tidak tersusun rapi di dalamnya. Aku mulai mencari dan menemukan hal yang ganjal; aku menemukanmu. Kepingan yang berantakan memanggilku untuk menyusunnya. Hingga terbentuklah mata, bibir, dan wajahmu yang utuh. Kini, waktuku tak lagi dipenuhi kesunyian. Ada senyummu yang bersina