Ketika Aku Sadar (cerpen)

 “Ketika aku sadar, tanganku masih menggenggam hatimu; ketika aku sadar, mataku masih melirik sosokmu; ketika aku sadar, hatiku masih mengharap cintamu; aku rapuh. Tak ada yang kacau selain jiwa. Dan aku terjebak di ruang nestapa.” Yumin Hoo.

***

 Semarang malam itu, lalu lintas dipadati kendaraan. Kami berniat menghabiskan malam minggu di Alun-alun, namun harus rela berbagi napas dengan debu dan polusi di sepanjang jalan.

 “Kau mau masker?” Tawarku, saat mengendarai.

 “Tidak, terima kasih. Aku sudah ada,” jawabnya.

 “Kenapa tidak dipakai?” Tanyaku.

 “Karena kau tidak, maka aku juga,” pungkasnya.

 Kurasa ia ingin sepadan denganku. Pemikiran, tingkah laku, dan hati; barangkali juga sama. sepanjang jalan kami membisu, hingga sampai di Alun-alun.

 Supra tua kutaruh di bibir jalan, lalu kami bergegas menuju ke tengah lapangan. Tanpa disuruh, tanganku spontan meraih tangannya, kugenggam erat, bergandengan sampai tempat tujuan. Kami duduk bersama, bersila, menikmati kerlipnya suasana Semarang.

 Tanpa terasa, lebih dari setengah jam kami membisu, saling memandang dan melempar senyuman. Hingga perlahan, embun hangat terasa membasahi genggaman. Aku menikmati rasa ini. Rasa di mana waktu seolah meledak, menciptakan percikan yang menjelma kehangatan.

 “Kita tidak sedang berkencan, kan?” Ia mulai membuka topik.

 “Menurutmu?” Tanyaku balik.

 “Kita kan sahabat,” jawabnya

 “Kenapa?”

 Ia melepas genggaman, berdehem, lalu menjawab;

 “Aku masih belum siap untuk pulih.”

 “Trauma hanya akan mengantarkanmu pada titik sunyi, dan kau akan merasa kesepian; selamanya,” gerutuku.

“Bukan begitu. Kita baru sebulan dekat. Masih belum cukup bagiku untuk mengenalmu.”

 “Jangan bilang, semua lelaki sama?”

 “Kau sendiri yang mengatakannya.”

***

 Saat itu, kata sayang sangat mudah diucapkan; saat itu, kasih sayang sangat mudah diterapkan; saat itu, rasa sayang sangat mudah ditularkan. Meski semua sandiwara, aku menikmati kebohonganmu.

***

 Jauh setelah itu, setelah perkenalan yang sederhana, siang menjelma bait kesejukan, dan malam menjadi sajak kerinduan. Meski hanya sebentar, nyatanya jauh darimu terasa lama.

***

 “Bolehkah aku memanggilmu ‘Mas’?” Tanyanya suatu hari.

 “Panggil saja sesukamu,” balasku.

 “Tapi biasanya kalau sudah dipanggil begitu, kelak akan muncul banyak cobaan,” jelasnya.

 “Kenapa begitu?”

 “Ya, kan, udah biasa laki – laki suka bikin Mas-alah.” 

 Seketika, tawa mengguyur kesunyian. Dan waktu itu, tak ada keseruan yang lain selain pertemuan yang sederhana.

***

 Lawang Sewu memanglah tempat bersejarah. Darinya, kami mengukir kisah yang tak mungkin pudar. Terkadang buram dihadang lupa, terkadang jelas dibawa sepi. Namun tetap abadi meski mengendap di masa lalu. 

 “Kata kebanyakan orang, bawah tanah Lawang Sewu ini angker, loh!” katanya, saat kami berjalan memasuki ruangan bawah gedung.

 Kami berjalan menuruni anak tangga. Tangga hanya bisa dilewati satu orang, maka aku yang lebih berani berjalan di depan. Kulihat ia masih mematung di atas, ragu untuk melangkah masuk.

 “Kenapa tidak turun?” Tanyaku.

“Gelap,” jawabnya setengah berbisik, sambil menyatukan kedua tangannya di dada.

 “Jangan takut, kita bersama.” Aku mencoba meyakinkannya.

 Akhirnya ia mulai melangkah. Tapi nahas, ketika sudah menyentuh sudut tangga, kakinya terkilir. Ia terpeleset dan terjatuh; di pelukanku. Cukup lama, hingga seorang petugas gedung datang melihat, lalu berdehem.

 “Ada apa ini?” Tanya petugas.

 Drama kami usai. Segera kulepas tubuhnya yang menempel padaku. Kita saling pandang, tak ada kata yang bisa terucap selain senyuman. 

 “Saya tadi terjatuh, Pak. Untung saja ada dia,” jawabnya kepada petugas.

 Si petugas hanya menggelengkan kepala, lalu pergi meninggalkan detak kami yang beradu gendang.

  ***

 Tidak terasa sudah enam bulan hubungan kami berjalan. Seperti kebanyakan, setiap hubungan pasti terdapat cobaan yang bisa saja memutuskan. Sore itu, di latar Klenteng Sam Po Kong, cobaan itu datang menghadang. 

 “Apa yang kau lihat?” Tanyaku 

 “Patung itu,” katanya, sambil menunjuk patung Laksamana Cheng Ho.

 “Kau tahu sejarahnya?”

 “Tidak.”

 “Dia salah seorang penjelajah Tiongkok yang terkenal,” jelasku

 “Oh..” hanya itu responnya.

 “Aku pun seorang penjelajah, loh.” Kataku lantang sambil membusungkan dada ke arah Laksamana Cheng Ho.

 “Masa, sih? Kerjaanmu kan cuma tiduran di kost-an,” komennya.

 “Aku seorang penjelajah cinta yang tak kunjung menemukan persinggahan.”

 “Dasar Bucin!” Katanya serentak memukul dadaku.

 Sam Po Kong menjadi saksi bisu perasaanku. Sungguh, aku telah blak – blakan bicara perasaan di depannya. Malu, sudah pasti. Hatiku tidaklah mampu memendam lama perasaan yang mengganjal. Apa pun itu, aku harus segera menyatakan.

“Bolehkan, aku memanggilmu Sayang?” Tanyaku blak – blakan.

“Kenapa harus sayang?”

“Ya, karena aku memang sayang.” 

“Kenapa kau menyayangiku?”

“Apakah sayang butuh alasan?”

Ia membisu. Tak ada jawaban selain diam. Ia berpikir keras. Entah untuk memberi jeda bagi perasaan, entah merangkai kata untuk menghindar, entah memang diam karena tak paham. 

“Maaf..” akhirnya ia menjawab.

“Maaf untuk?”

“Panggil saja namaku seperti biasa. Aku tetap memanggilmu Mas. Mas Diksi. Kau tetap memanggilku Rahma. Kita tetaplah sahabat. Jangan ada sayang yang melebihi batas persahabatan. Aku tidak ingin kita menjalin hubungan lebih dari persahabatan.”

Lagi – lagi, aku gagal. Seketika hatiku terbalik; perasaan yang susah payah dirangkai dengan rapi, kini runtuh berjatuhan hingga merata. Kukira semesta selalu berpihak kepadaku. Namun nyatanya sang Penguasa Jagad tidak pernah mengizinkan. Aku rapuh. 

Susah payah aku menahan sakit. Tapi mataku tak bisa berbohong. Tangisku pecah.

“Kenapa harus sahabat? Kenapa kau selalu menghindari itu? Kenapa?!” 

“Ssstt,” sergahnya, sambil menempelkan telunjuknya di bibirku. “Kau belum sadar juga, ya,” lanjutnya.

“Apa? Kau sudah ada yang punya?”

“Bukan. Aku ingin kita tetap bersahabat. Aku khawatir kalau kita pacaran, jika tidak bisa menjaga komitmen, kita akan putus. Dan jika sudah putus, maka hubungan baik kita terganggu. Aku tidak inginkan itu. Jadilah sahabat terbaikku; yang selalu ada di kala sedih; yang selalu hadir di kala senang; yang selalu bahagia, meski sering diuji coba. Paham?”

Aku hanya melongo mendengarnya. Kurasa ini lebih baik. Kita tetap bisa bersama meski tidak dengan pacaran. Dan aku ingin selalu bersama. tidak selamanya, selamanya terlalu lama. Seumur hidup saja, bagiku sudah lebih dari cukup. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu