Perlahan (prosa)

 “Perlahan bayangmu memudar, tertiup waktu dan melayang ke simpang. Perlahan senyummu melebur, terkupas lupa yang kian menerpa. Perlahan sosokmu menghilang, tertutup jarak di ujung barak. Kita melupa.” Yumin Hoo.

                                   Waktu

“Imajinasi adalah mesin waktuku. Dengannya aku bisa pergi ke mana pun aku mau. Nahasnya, ia hanya mau kembali ke masa lalu sekadar untuk melihatmu.”

Salahkah kita bila terbentang? Seolah bumi tidaklah rela dengan tangan mencengkram. Teramat jauh, juga lama. Hingga kita sama – sama melupa; menjadi timur dan barat yang tak pernah  menyapa, sebab sulitnya mengungkap kata.

Waktu, dialah penyebab hilangnya rasa. Andai dia bisa kembali, aku takkan segan memelukmu erat. Namun tanganku tak lagi mampu menggenggammu. Waktu hanya mau berjalan maju, tak bisa berhenti maupun kembali. Kalau pun bisa, aku hanya cukup menutup mata seraya mengubah hari di tempat yang sama. Kita duduk di bibir pantai, mencengkeram erat sela – sela jemari, sembari menatap senja yang kian meredup. Sungguh, aku betah terjebak di sana. 

                                      Pergi

“Wahai Penggetar Hati, pagiku tak lagi berarti; siangku tertusuk belati; dan malamku menjadi mati. Seolah meniadakan sebuah kisah, tanpa sadar kaulah yang membuatnya pudar.”

Semudah mengedipkan kelopak mata; perasaanmu menghilang. Kau semakin menjauh dan terlihat buram. Entah apa yang kau lakukan di sana. Sedari awal aku tak pernah menaruh curiga. Hingga saat ini, aku tetap bertahan di ruang ketidakpastian.

Kalau kau berniat, janganlah memikat jika tak ingin mengikat. Semudah itu kau menjadikanku budak; menyeretku ke dasar nestapa, dan meninggalkanku terjebak lara.  Tanpa ampun kau beriku derita. Dan aku hanya terkulai dengan hati penuh luka. Kau pun pergi. Meninggalkanku yang kini tersiksa.

                                     Perlahan

“Pelan, namun pasti. Kau menyayatku secara perlahan; dengan kabar yang tak lagi terdengar, dengan senyum yang tak lagi untukku, dengan rasa, yang tak lagi merasa; bahwa hatiku tak lagi dipelukmu.”

Terkadang ketidakjelasan hubungan merupakan turunan dari kata Jarak. Begini, akan kukenalkan kau dengan yang namanya Cinta. Ia datang dengan cara mengendap – endap dari celah hatiku, lalu menuju syaraf terdalam di dalam tubuhku. Ketika sampai di bagian jantung, ia akan memukulnya sampai bergetar. Semakin dekat sosokmu di hadapanku, semakin keras getaran yang dirasakan. Alhasil, perlahan tubuhku terasa berdendang, dan aku menikmati perasaan ini.

Sampai suatu hari, datanglah Jarak. Ia merupakan peran antagonis yang menyebalkan. Kehadirannya bermaksud memisahkan. Entah apa maunya. Di sisi lain ia berniat mempererat kebatinan. Tapi entahlah dengan kita. Terkadang ia menyatukan rasa dalam doa, terkadang pula memisahkan hati dengan bosan. Perlahan, Jarak benar – benar menjadi pemeran utama dalam hubungan yang panjang.  Dan perlahan, Jarak mengungkapkan bahwa sedikit insan yang mampu bertahan melawan kebosanan.
 
                                  Menyerah
 
“Banyak hal menakjubkan saat melihat bersamamu. Jutaan bintang menjelma biji harapan; cahaya senja bersinar menguatkan; dan mata lentik yang selalu menyegarkan. Meski kutahu, semua itu tak ada makna jika tanpa dirimu.”

Bermula dari Kita, diisi dengan Tanpa, dan ditutup secara Perlahan. Kisah kita takkan pernah sirna. Kau tahu? Roda berputar tak kenal arah. Ia terus berputar hingga menabrak sesuatu yang bisa membuatnya berhenti. Seperti halnya Kita, yang berjalan dengan leluasa, lalu mendaki Tanpa yang penuh jalan terjal, dan turun secara Perlahan hingga berdebam. Kita hancur, juga kisah lama yang terukir; semua lebur. Hanya tersisa debu sesal yang mengendap. 

Seperti komando dari Kapten; hatiku diperintah berhenti dan balik kanan, lalu lekas berlari selagi sempat. Aku tak pernah paham apa maksud Nurani menyuruh berhenti. Mungkin dia tidak rela Hati selalu disakiti, atau mungkin tidak tega melihat Hati yang terlalu lelah bersabar. Apa pun itu, Hatiku benar – benar tidak sanggup dengan jutaan duri jika terus bersamamu. 

                                   Sempurna

Tentang mata yang melampaui pandangannya; tentang jiwa yang menyentuh batasannya; tentang hati yang menemukan kekurangannya.”

Sekarang, aku  terbiasa tanpa hadirmu. Hatiku tak lagi digenggammu, jiwaku tak lagi untukmu, dan jariku tak lagi disela olehmu. Aku bebas. Meski begitu, memori tentangmu bisa muncul kapan pun ia mau. Dan aku terbiasa dengan rasa itu; rasa di mana aku bisa menikmati tanpa ada luka lagi. 

Tenang, aku tidak pernah membencimu. Malah, aku bersyukur dipertemukanmu. Tuhan menitipkanmu sekadar untuk mengujiku. Dan aku belajar darimu, bahwa cinta tidak selalu kelabu; ada merah yang memberi rasa haru; ada kuning yang menjelma cahaya kalbu; juga hijau yang menjadi penyejuk jiwa. Kisahku sempurna.

“Bersamamu aku bertahan; bersamamu aku menyerah. Bersamamu aku berjalan; bersamamu aku berhenti. Bersamamu aku melihat; bersamamu aku terpejam. Perlahan, Tuhan memberi pelajaran untuk hati yang naif ini. Dicurahkannya rasa bahagia; dilemparkannya rasa sakit; kemudian dibukakannya pintu makrifat  yang berupa pendewasaan.”



Yumin Hoo


14 Agustus 2020

Komentar

  1. “Bersamamu aku bertahan; bersamamu aku menyerah". Nyerah bersama :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu