Cinta dan Tragisnya Janji (cerpen)

"Mungkin secara naluri kisah ini akan membawa banyak ambigu dan tak ada pesan yang bisa menggambarkan makna kehidupan. Namun jika pikiranmu tak mau dibilang mati, maka temukanlah makna yang tersirat."

"Jika bisa dibilang cinta, maka hanya pembuka yang mampu melukiskan kisahnya. Selebihnya terlihat nyata bahwa kisahku sangatlah tragis." Muttaqin.

Pagi hari di jam istirahat, aku menyepi di sudut perpustakaan. Membaca novel karya Yonezawa, Hyouka, melamunkan kejadian heroik yang penuh teka – teki. Cukup lama. Hingga terasa sofa panjang yang kududuki seperti merosot. Ternyata wanita berkerudung ungu bersandar di sebelahku. Menyapaku dengan ramah, dan menyatukan kedua telapak tangannya, sekadar isyarat untuk memberi salam dan perkenalan.

            “Jannah,” katanya, memulai perkenalan.

            “Muttaqin, atau bisa kau panggil Taqin.” balasku dengan sedikit gemetar.

            Perkenalan yang singkat. Aku kembali tenggelam dalam buku, dan ia sibuk berenang di alam maya bersama gadget di tangannya. Hingga aku menyelesaikan bacaanku, ia tak pernah membuka mulut barang sejenak. Atau mungkin aku tak pernah memperhatikan wajahnya. Kulirik sejenak bibir berwarna darah itu. Ah, benar, ia tidak diam. Tengah merapalkan sesuatu. Ia menoleh kepadaku, lalu tersenyum. Dengan kaku aku membalas senyum, lalu cepat – cepat membuka buku dan membacanya. Sungguh kikuk diriku bila dengan perempuan. Sialan!

            “Perhatian, perpustakaan akan tutup lima menit lagi. Harap bagi para mahasiswa untuk segera mengosongkan ruangan.” Suara yang memekikkan telinga, dan kebetulan speaker tepat berada di atas kepala. Sungguh waktu yang menyebalkan. Belum sempat aku mengobrol dengan sosok yang kebetulan mampir di hidupku. Namun, waktu tak pernah memihak.

            “Hmm, apa yang kau baca tadi?” Tanyaku memulai.

            “Al – Qur’an,” jawabnya lembut. Sungguh, suaranya sangatlah lembut. Hatiku tak mampu menahan gempa.

            “Oh..” Hanya itu. Aku tak tahu harus berkata apa. Wajahnya mendistorsi mulutku untuk mengatakan yang sebenarnya.

            “Apa kau bisa berbahasa Jawa?” akhirnya ia memulai.

            “Oh, tentu.” Jawabku mantap.

“Perhatian, Perpustakaan akan segera ditutup. Dimohon untuk mengosongkan ruangan.” lagi – lagi speaker menyebalkan itu memutus kenikmatan.

            “Oke, kurasa kita harus berpisah.” Tutupnya, lalu berdiri dan segera menuju pintu keluar.

            “Jannah, tunggu!” Cegahku. “Bisa kau bagi nomor WA?”

            “Oh, tentu. Tapi kita perlu keluar sebelum petugas Perpus mengusir kita di sini.”

            Kami keluar bersama. Kuberikan ponselku padanya, ia mencatat nomornya. Lalu kami berpisah.

            Setelah perkenalan yang sederhana, malam selalu menjadi sajak kehangatan. Bumi seolah berputar cepat, dan waktu seolah milik kami berdua. Perasaan kami saling terikat dan bahkan semakin erat seiring berjalannya waktu. Sampai akhirnya, tanpa terasa, ia lulus terlebih dahulu, sementara aku masih berkubang di masa skripsi. Ia kembali ke kampung halaman dan memperoleh pekerjaan di suatu perusahaan ternama.

Satu tahun berlalu. Dan aku, masih dalam pekerjaan yang sama –skripsi. Hampir dengan rasa penuh frustasi aku mengerjakannya. Tak ada kabar tentang keadaan yang seharusnya dikabarkan. Bertumpuk chat  yang kukirimkan satu mingu yang lalu, hanya centang satu yang tak pernah dibaca. Sama sekali tak pernah. Ia menghilang tanpa sebab. Hingga kusadari, bahwa diriku tak lagi berarti. Aku marah. Sangat.

Semangatku berkobar. Entah dari mana api itu datang, semangat itu telah mengantarkanku pada keberhasilan. Aku telah menyelesaikan skripsi di akhir semester sepuluh. Dalam wisudaku, aku melihat betapa bahagianya mereka yang berpasangan. Saling bertukar bunga, selfie bersama, hingga berpelukan. Jujur, aku sedikit jijik melihatnya. Dalam waktu bersamaan, pikiranku melayang ke masa kami pernah bertemu, bertamasya bersama, hingga foto – foto yang terhapus tergambar kembali dengan jelas di dalam angan. Semakin aku menyangkal segalanya, semakin jelas kenangan yang tergambar. Aku menyerah. Tersungkur di tengah bahagianya banyak orang. Sampai aku tersadar tepukan tangan melesat di pundakku. Aku menoleh ke belakang.

“Bapak?”

“Sedang apa kau di sini? Ayo kumpul dan foto bersama keluarga besar”

Benar. Aku memiliki keluarga. Tak ada yang perlu disesali. Bahagia itu sekarang. Aku segera menyusul barisan keluarga yang tengah siap difoto. Kuusap bulir cengeng di mataku. Dan kutatap tajam lensa kamera dengan senyum yang mengembang.

***

Tahun kedua. Aku menjadi seorang guru di SMA Negeri favorit. Hari – hari berjalan biasa. Berangkat pagi dengan seragam dinas, pulang siang dengan wajah penuh kesal. Begitulah guru. Meski kutahu, tidak semua guru sepertiku.

Sesampai di rumah, kurebahkan punggung sekadar untuk merefleksikan hati, juga pikiran. Saat mata hendak terpejam, dering handphone berbunyi dengan lantang. Lekas kumatikan tanpa melihat apa notifikasi yang tertera. Sepuluh menit berlalu, handphone mulai berdering kembali. Kali ini lebih keras. Dengan perasaan jengkel aku terpaksa bangun, dan melihat notifikasi yang muncul di dalam layar.

Janjian ketemu di tempat semula”

Seketika nyawaku terkumpul utuh. Dan aku teringat janji dulu yang pernah diucapkannya ketika wisuda. Aku membuat alarm di hari ini. Tak terasa dua tahun lebih kita terbentang, dan kita akan bertemu kembali di tempat awal kita bertemu. Dan janji haruslah ditepati. Segera aku bergegas menuju kamar mandi, berganti pakaian terbaik, dan wangi parfum terbaik –menurutku. Bukan termahal. Aku berangkat bersama Megapro tua. Kebetulan letak kampus tidak terlalu jauh dengan rumah.

“Sepuluh menit lagi sampai,” gumamku, melihat destinasi yang tertera di maps.

Sampai. Kuparkirkan motor ala kadarnya, lalu bergegas menuju perpustakaan. Kebetulan masih pagi. Dan aku hanya perlu menuju sudut ruangan dan duduk di sofa panjang seperti biasanya.

Tiga puluh menit berlalu. Aku tak menemukan tanda dari sosok yang ditunggu. Sembari memegang buku yang tak pernah kubaca, mataku menatap tajam pintu masuk dan orang – orang yang silih berganti memasuki ruangan. Satu jam melesat begitu cepat. Cepat bagimu –membaca ceritanya, lambat bagiku menunggu sosoknya. Sial! Aku tak mencium aroma lain selain janji busuk. Aku berdiri dan membanting buku di atas sofa, lalu keluar dengan wajah penuh amarah. Rupanya semua hanya bualan. Aku tak suka dengan misteri. Aku benci orang munafik!

Ketika hendak menyentuh gagang pintu, pintu Perpus terdorong masuk hingga menjorokkan tubuhku ke belakang. Kulihat sosok pembuka pintu. Dan aku terpana. Satu detik yang seolah satu jam, menggambarkan waktuku yang tengah dilanda gempa. Aku melongo.

Sosok itu. Tak salah lagi, dia!

“Jann..”

Belum selesai kupanggil namanya, ia tak acuh dan lekas berlalu menuju sudut ruangan –sofa. Menahan sedikit jengkel aku kembali menyusulnya, duduk di sebelahnya. Kuperhatikan sekilas penampilannya, berbeda jauh dengan kali pertama bertemu. Ia tak lagi mengenakan jilbab. Ia bahkan berani memakai rok mini. Dengan dandan khas artis iklan busana, aku hanya melongo dibuatnya.

“Apa yang terjadi?” tanyaku memulai. Ia hanya diam.

“Baiklah, jika kau tidak ingin menjelaskan semuanya, sepuluh detik dari sekarang aku akan pergi!” kataku dengan nada paksa.

Lama aku menunggu. Hingga lebih dari sepuluh detik, ia hanya terdiam menunduk. Aku heran dengan sikapnya. Kedua tangannya menggenggam erat tas jinjing di atas perut, kuperhatikan matanya sayu. Dan kutahu dia tengah berperang di dalam batin.

“Oke, jika itu maumu, aku pergi sekarang!” kataku lantang sambil berdiri cepat –hampir melompat. Melangkah menuju pintu keluar.

“Taqin..” sergahnya dengan suara yang serak, lalu terisak. “Maafkan..” ia semakin terisak.

Aku menoleh. Kuperhatikan wajahnya terlihat seperti lebam. Bedak dan celak luntur tak beraturan mewarnai wajah manisnya

“Apa maksudmu maaf?”

“Aku akan segera menikah. Maafkan aku.”

“Ok. Kau menyia – nyiakan waktu berhargaku. Selamat tinggal!” aku pergi meninggalkannya menangis sendirian.

Sepanjang jalan tak henti – hentinya aku mengumpat. Hujan badai dengan dahsyatnya menyerang batinku. Berjuta kenapa beruntun berdebam membebani pikiran. Dasar tak punya hati! Kenapa tidak pernah jelas sedari awal pertemuan? Kenapa dunia tak pernah memihak kepadaku? Kenapa hidupku tak pernah beruntung? Kenapa kisahku selalu berujung tragis? Seolah menjadi bahan percobaan, tubuhku hanyalah boneka yang tak lagi diperagakan. Kisahku tuntas. Seperti yang telah kupaparkan, mungkin ini yang dinamakan kisah awal yang penuh cinta, dan diakhiri dengan hati yang penuh luka.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu