Fana (prosa(

 “Masihkah ada jiwa yang terbelenggu waktu merana? Masihkah ada akal yang tertipu indahnya pesona? Masihkah ada, hati yang keras tanpa merasa hina? Jikalau engkau sadar, semua hanyalah fatamorgana yang tak kunjung sirna.” Yumin Hoo.

                                  Tiada

Tentang jiwa yang seharusnya tak pernah ada. Jiwa yang hidup namun dianggap mati; jiwa yang berisik namun terdengar sepi.”

Pernah kau melihat angin? Banyak persepsi yang menggambarkan tentang angin. Beragam bentuk melintas di dalam angan. Angin dan angan merupakan kolaborasi yang menarik; angin di dalam angan. Hanya itu yang tergambar.

Aku ingin menjadi angin; yang faktanya ada namun tak kasat mata; yang tak kasat mata namun bisa dirasa; yang bisa dirasa dan juga dipercaya.

                                   Ragu

“Batas yang tak kunjung disentuh, menjadi buram dan semakin transparan.”

Terkadang fakta tak sejalan dengan pikiran. Ketika dihantam masalah, akal selalu menyangkal; ketika dihidangkan tempe, akal mengkhayal rendang. Inilah hidup yang tak pernah disangka.

Terlalu banyak kita yang tidak pernah jujur. Ketika takdir menjadikannya ayam, berjalan di atas tanah, mencari nikmat yang tersedia di bawahnya; tetapi malah cemburu kepada burung yang melayang di udara.

Inilah takdir yang tak pernah disangka. Yang menjadi sama kala diterima; yang menjadi sakit kala digigit; yang semakin terbelenggu kala meragu.

                                   Maju

“Ketika jalan mulai menurun, hatiku lega. Tanpa tenaga aku bisa terus berjalan; melaju kencang dan mencapai tujuan.”

Kau berlari ke tempat yang tidak pasti dengan harapan mendapat roti. Hei, ini masih tentang ayam, yang kesehariannya mencari makan. Memprioritaskan kebutuhan ketimbang berjualan. Kawanan unggas tetap hidup meski tidak dengan kuota.

Ibarat jalan yang menurun; tanpa didorong roda pun beputar. Melaju kencang tanpa ada hambatan. Jika berkeinginan untuk berhenti, maka berilah tembok sebagai pembatas. Ia akan berhenti dan diam di tempat. Seperti halnya akal yang sederhana; yang memberi batas jalan pikiran; yang mencari salah di sekitarnya; yang tetap bertahan di tempat yang sama; dan tak pernah melaju menuju angannya. Kita binasa.

                                     Sesuai

”Tak ada yang munafik di atas tanah. Semua pernah berbohong meski untuk kebaikan. Dan tanah bisa berubah sesuai kehendak yang berkuasa. Kita hanya berperan.”

Sering terdengar lirik yang mengalun, “dunia ini panggung sandiwara.” Oh, Teman, semua seolah berpura – pura; menjadi tangguh mempertahankan yang utuh; menjadi tegar sekadar menepis lapar; menjadi tinggi hanya karena takut rugi. 

Hei, kita diberi kuasa agar bisa merasa; kita diberi kuat agar menolong yang sekarat; kita diberi nikmat agar bisa memberi hormat. Apa pun yang kau punya, jadikanlah sesuai. 

                                 Seimbang

“Tegak berdiri,  berpegang sendiri. Menjadi mandiri dan tak pernah diberi.”

Seperti halnya sepeda, aku harus terus mengayuh agar tetap seimbang. Meski berjalan di jalan yang terjal, melintasi gunung yang terkadang murung, menuju tangguh dan tak pernah mengeluh. Raga  tetap bertahan meski jiwa mulai rapuh; akal tetap bekerja meski kepala terasa jenuh; dan hati tetap ikhlas meski rasa mulai rapuh. 

                                       Fana

 “Mampukah hati menggenggam lara? Bersama cinta yang menggelora, tibalah masa menjadi bara.”

 Terasa hangat kala ingat rasa itu; rasa di mana aku mampu membayangkan alam bercerita tentang kehidupan. Bersama waktu yang tak pernah berdetak; bersama cinta yang tak lekas berlari; bersama tanya yang tak kunjung sirna.

 Sudikah, menjadi waktu yang tak lagi berdetak? Sudikah, menjadi cinta yang tak lagi bernyawa? Sudikah, menjadi tanya yang tak lagi terjawab? Seolah buku yang hanya tertulis, namun tak pernah menjawab. Semua fatamorgana; jasadku juga fana.

                                      Semu

 “Berawal dari asa; meleburkan butiran nyata; menebarkan jutaan rasa.”

 Harapanku bukanlah untukmu, bukan juga untuk bumi, pun untuk langit. Aku tercipta di antara belahan tanah, menjadi darah yang menggumpal dan berdetak. Tidaklah pantas bagi bentuk yang sementara; mengambil hak lain yang bukan semestinya. Karena pasti, umurku perlahan sirna.

 “Duhai, tidaklah pantas ruh ini menggenggam amanah. Membelai derita serasa lupa akan nikmat; menabur ilmu yang tak pernah diamalkan; mengikat hati yang seolah mati. Ampunilah jiwa ini.”


 Minggu, 30 Agustus 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu