Vaksin Zombie (cerpen)

 Banyak hal yang tidak tertulis. Perihal fakta yang mengambang dalam kehidupan. Dan aku, tetaplah mengendap di dalam awan. Fakta tersebut seolah jauh terbentang. Aku tak mampu meraihnya meski ada di hadapan. 

Tahun 2021 di bulan Desember. Bumi seolah kiamat. Bermula dari  Januari  2019, jutaan tentara tak kasat mata menyerang dunia. Pasukan makhluk mengerikan  hingga kini tak kunjung sirna. Banyak mayat tercecer di pinggiran jalan yang tak lagi berupa orang. Tidak ada yang berani menyentuhnya meski dengan pakaian pengaman. Inilah hidupku yang berada di penghujung zaman.

“Satu kata yang mewakili perasaanmu?” Pinta temanku di layar kaca genggam.

“Shit, Man! Aku bisa gila jika terus mengendap di rumah!” Umpatku kepadanya.

“Ahhahaa.. kau pun mewakili perasaanku. Aku senang berteman denganmu.”

“To the point! Apa maksudmu menelponku?” Tanyaku tak sabaran.

“Aku punya informasi yang menarik.  Datanglah ke rumahku, akan kuberitahu rahasia.” Jawabnya singkat, lalu mematikan telepon.

Riska, teman satu komplek denganku. Rumah kita tidak terlalu jauh, hanya sela beberapa rumah untuk sampai ke persinggahannya. Tahun ini merupakan hari – hari yang berat bagiku, segala yang ada di luar rumah menjelma aturan yang sangat merepotkan. Sebelum pergi, aku harus memakai jas plastik yang sekali pakai. Dan aku membawa dua untuk cadangan pulang. Tidak lupa juga memakai face shield untuk keamanan wajah. Bagiku, ini sangatlah lebay, padahal hanya pergi ke rumah tetangga. Ketika sampai di rumahnya, kulihat ayahnya tengah duduk di teras rumah, sembari mengepulkan asap tembakau. Sangatlah santai.

“Riska ada, Pak?” tanyaku 

“Apa yang membuatmu ke sini?” Tanya ayahnya

“Ada keperluan penting dengan Riska, Pak.” Jawabku sopan.

“Kalau memang ada keperluan, berarti kau sudah janjian dengan Riska. Kenapa harus bertanya Riska di mana? Sesuatu yang sudah pasti akan dilakukan tidak perlu ditanyakan, kau pasti tahu sendiri nanti. Belum tentu jawaban orang yang kau tanya itu benar. Maka kau haruslah melakukannya dulu baru terbukti kebenarannya.” 

Sial, ternyata ayah Riska suka bacod. Asal kau tahu, telingaku selalu panas mendengarkan setiap penjelasan. Aku benci penjelasan. Dan tidak jarang aku menemui yang tipe seperti ini.

“Baiklah, Pak, saya masuk dulu, ya.” Pungkasku santai dan penuh sopan. Ayahnya tersenyum menyilahkan. Meski mungkin ayahnya tahu kalau aku tengah meredam api amarah. 

Setelah melepas jas plastik, kakiku langsung meraba ruang tamu, lalu menyusuri lorong sempit menuju kamar Riska. Saat hendak mengetuk pintu, gagang pintu terlihat berputar. Pintu terbuka lebar.

“Romlii!” teriaknya mengagetkan, tapi gagal untukku. wajahku tetap datar.

“Infonya?” Tanyaku langsung.

“Mbok sabar toh yo, Rom,” timpalnya dengan logat Jawa sambil menepuk - nepuk pundakku. Ia menarikku masuk dan menutup pintu. Membawaku menuju ke meja komputer, lalu ia menunjukkan diagram perkembangan penyebaran Covid-19 di layar monitor.

“Kau lihat? Dunia hampir kiamat, Rom!” Katanya sambil menunjuk puncak gelombang merah di kaca monitor.

“Memang sudah kiamat, kok.” Timpalku.

“Indonesia sekarang mengerikan. Kau tahu? Negara kita ini terkenal dengan warganya yang nyeleneh. Saking loss-nya, mereka tidak memikirkan dampak terburuk yang bakal terjadi.”

“Memang kau ini warga mana?” komenku.

“Indo juga, Cuk! Tapi aku bukan mereka.” Jawabnya nge-gas.

“Cuma ini yang ingin kau tunjukkan?”

 “Bukan, sebenarnya bukan ini.” Jawabnya serius, “Coba kau perhatikan diagram ke sisi ini,” tunjuknya di gelombang merah Amerika. “Negara terparah hingga sekarang. Zona hitam menyeluruh. Amerika melebihi parahnya Cina sang negara pencipta.” Jelasnya.

 “Ah, sudahlah, gak usah panjang lebar. Langsung ke point, napa?” sergahku.

 “Ok, Bos. Jadi gini, di Amerika ada yang mengaku sudah membuat vaksin, tapi setelah tes laboratorium, kau tahu apa? Bukan kesembuhan yang ada, tapi malah menjadi lebih mengerikan. Lihatlah, aku berhasil meretas website Lab Amerika, dan aku menemukan sesuatu yang ganjal.”

 Riska menyetelkan video. Tampak pasien Covid yang tengah diminumkan pil oleh dokter, setelah diminum, pasien tertidur. Tampak sang dokter cemas menunggu reaksi. Tiga menit berlalu tanpa hasil, sang dokter kecewa, lalu berbalik arah ingin keluar. Ketika sang dokter hendak melangkahkan kakinya, tiba – tiba si pasien nampak kejang – kejang, menjerit, lalu bangkit. Jelas terlihat si pasien merasa kesakitan. Ia mencakar – cakar tubuhnya sendiri; hingga pakaiannya tersobek, menyampar alat – alat medis yang ada di meja sebelahnya. Sang dokter melongo melihat kejadian tersebut. Ketika pandangan pasien bertumpu dengan mata si dokter, seketika dokter itu tersadar. Dan mencoba sekuat tenaga untuk berlari menuju pintu keluar. Nahas, ia kalah cepat diterkam pasien. Riska menjeda video.

 “Zombie,” katanya.

 “Tidak sia – sia kau belajar IT, Ris. Jujur, aku tidak kuat melihat kejadian setelahnya.”

 “Menurutmu, bagaimana selanjutnya?” Tanyaku.

 “Bumi benar – benar kiamat, Rom! Kejadian ini baru terjadi kemarin. Video ini masih dirahasiakan publik.”

 “Belum.” Jawabku mantap. “Kita buktikan, mana mungkin virus Corona bisa menjelma virus Zombie hanya dengan sedikit racikan pil?”

 “Aku rasa Indonesia tidak mungkin tersentuh. Kau tahu sendiri warganya sakti – sakti.” Lanjutku sambil nyengir.

Aku bangkit menjauh dari meja komputer, mengamati ruangan kamar Riska yang gelap, lalu membuka jendela kamar.

 “Dari sini aku melihat, di balik jendela Indonesia; tampak masalah besar yang terlihat kecil. Dan tampak masalah kecil yang dibesar – besarkan. Kau tahu sendiri masyarakat Indonesia tetap bahagia meski dilanda kebanjiran. Tidak ada yang mengeluh, malah sibuk berenang dan memancing di teras rumah.” Jelasku.

 “Hilih, jiwa filsufnya kumat.” Komennya.

 “Intinya kau tenang saja. Toh video itu terjadi di Lab, kan? Berarti mereka hanya melakukan percobaan. Aku yakin esok tidak seburuk khayalanmu. Indonesia tetap aman. Percayalah, kita tetap bisa bersenang – senang meski tetap di rumah saja.”

 “Iyo, yo, Rom, iyoo..” jawabnya jengkel.

 “Hanya itu yang ingin kau tunjukkan?”

 “Wis, itu saja.”

 “Okelah, aku pamit dulu.”

***

 Aroma asap merayapi hidungku. Membangkitkan sadarku dari alam mimpiku. Kamarku terasa pengap dan panas. Aku berusaha merayap menuju pintu keluar, memutar gagang pintu dan membukanya. Dengan sigap kobaran api menjilati tubuhku. Tak ada jalan lain, aku harus keluar dari rumah. Sembari menuruni anak tangga, aku mencari sosok lain yang mungkin masih ada di dalam.

 “Ibu, ayah!” Teriakku. 

 Tidak ada jawaban. Leherku terasa tercekik. Aku menuju dapur, mencari sisa kain dan air yang bisa menyelamatkan nafasku. Sesampai di sana, terlihat adegan mengerikan yang muncul di depanku. Seseorang dekeroyok tiga orang mengerikan. Wajah mereka penuh bekas cakaran dan gigitan; tampak bopeng berbaur darah. Yang lebih mengerikan, setelah kuamati, seseorang yang dikeroyok ternyata sosok yang kukenal.

Ibuu!” teriakku. Naluriku memberi sinyal mulut untuk terus berteriak histeris.

 Mereka menoleh, termasuk ibu, lalu dengan penuh gairah berlomba – lomba menuju tubuhku. Seperti serigala kelaparan yang melihat mangsa di hadapan. Mereka berhamburan melompat menuju tubuhku. Aku terkulai lemah, antara hidup dan mati, sekuat tenaga aku berusaha sadar dan bangkit. Ingin berlari secepat dan sejauh mungkin. 

 Aku segera berputar arah dan hendak melangkah. Tapi sayang, terlambat. Kakiku terlanjur tertangkap, lalu diseret ke bawah. Sungguh, cengkeramannya begitu kuat hingga terasa kuku – kukunya menusuk ke dalam tulang. Aku terjebak ke dalam perangkap. Air merah terasa mengalir di leherku, nafas panas terasa membakar rambutku; leherku tergigit. Sekuat tenaga aku melepaskan cengkeraman. Usahaku berhasil untuk menjauh beberapa meter darinya. Terlihat sosok mengerikan itu mengececap – ngecap dan menjilati jari – jarinya yang berlumuran darah. Kurasa dia kekenyangan darah sehingga tidak mengejarku lagi. 

 Akhirnya aku bisa meloloskan diri dari perangkap. Tapi sayang, ketika susah payah aku berjalan ke depan, sosok lain muncul di hadapan. Karena aku berjalan menunduk, tidak sadar bahwa di depan ada halangan. Aku menabraknya, lalu terjatuh berdebam. Sebisa mungkin aku mendongak ke atas, melihat wajah sang penghadang. Sosok itu, tidak salah lagi. Sosok itu tersenyum mengerikan kepadaku. Kemudian menerkam kepalaku.

 “Ibu, jangaan!!”

***

 Aku bangkit melompat dari ranjang. Berdiri tegang melihat sekitar. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Ternyata cuma mimpi. Kuambil ponsel di meja sebelah, menelpon Riska dan menceritakan kejadian di alam mimpi. Ia hanya menanggapinya dengan gelak tawa dan berceloteh;

 “Tidak bisa dupungkiri, kau pasti memikirkan video tadi sampai terbawa tidur, kan? Tenang saja, Indonesia masih aman, kok. Kau bilang orangnya sakti – sakti, kan? ahhaahaa”

 Masih aman, katanya? Bagaimana kalau mimpiku terjadi kelak?

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu