Dengan

 “Langit bercerita perihal doa yang mengambang di tangannya. Mengupas kata yang melekat pada rasa, menyantap sajak yang tak kunjung tersampaikan. Mengulas bukti yang berjajar di matamu.” Yumin Hoo.


Demi

“Pertunjukan sederhana yang sangat dramatis adalah ketika awan memeluk mentari yang tak sengaja terbuai. Ia lupa bahwa ia bisa hangus karenanya. Itulah cinta.”

Mengalunlah dengan santai. Aku tengah sibuk menyusun panggung untuk pertunjukkan elok nantinya. Jemariku takkan pernah lelah menari untuk terus menghibur galaumu. Teruslah bersedih agar aku juga terus menghibur. Kapan kau membutuhkan alat bahagia, ambillah. Ambillah bahagiaku untuk menukar sedihmu. Aku takkan pernah keberatan, sedikitpun.

Selagi kau masih mau menyaksikan, aku rela untuk terus berputar, berjingkat, bersakit-sakitan demi senyumanmu; demi bahagiamu.


Mungkin

“Setiap kita mempunyai satu pinta yang terkadang hanya ingin; tidak nyata dan juga tidak ada. Hanya angan yang selalu bersandiwara. Merobek logika dengan tanpa bersuara.”

Hanya sebatas ingin yang diperagakan angan. Suara – suara indah terdengar lirih, nada – nada rindu  terasa syahdu, bau – bau malam tercium hangat. Ah, aku menikmati gelap ini. Sungguh, tak ada yang lebih indah dari gelap.

Saat mataku tergulung, yang tampak hanya gelap. Berbekal halu secukupnya, aku mampu mencipta segala mustahil menjadi mungkin. Segala yang kuingin, segala yang kumau sangat mudah dikabulkan. Cukup terpejam, semua tuntas. Iya, hanya dalam imajinasi.


Takhta

“Juara satu hanya untuk yang berambisi. Juara satu hanya untuk yang diapresiasi. Juara satu hanya untuk yang dikagumi. Namun, juara satu untukku hanyalah menggenggam piala hatimu; satu-satunya untukku.” Ucap Hati.

Jika ditelaah lebih jauh, pantaskah, hatiku yang berharap lebih padamu tanpa dibalas harapan darimu? Ah, harapan memang menyebalkan. Ia tak pernah berpihak pada kita. Oh, maksudku, padaku. 

Logika seolah mati kaku tatkala harus berpapasan di tengah pelariannya. Nasibnya sangat malang, takdirnya sangat curang. Ia tak diizinkan marah kepada Hati. Sebab tanpanya, Logika tak bisa hidup. Namun, sebagai penguasa, Hati tetap memberi hak bagi Logika untuk tetap bersamanya. 

Padahal, yang seharusnya memimpin adalah Logika, bukan Hati yang hanya sekadar berangan dan menerka kemungkinan yang muhal. Sama sekali tak pantas. Tapi, sebagai raja yang egois, ia berhak berkehendak.


Mampu

“Meski didera jutaan lara, tersiram cuka gelisah, dicambuk rasa bersalah; hatiku tetap bertahan. Karenamu, aku mampu.”

Terlalu banyak luka yang membekas karenamu. Jika saja logika merdeka, ia bebas melindungiku. Melindungi dari cinta yang terus – menerus membodohi. 

Betapa kerasnya pikiran yang tak pernah berkesudahan; betapa lemahnya hati yang tak bisa berkelakar; betapa hinanya aku yang tak mampu berbahagia. 

Namun, meskipun udara terbang membusuk, rasa terbuai sakit, dan mimpi terbakar lara; cinta tetaplah cinta. Tak mampu berubah  hanya karena satu bara. Karena hidupmu, oksigen terpenting bagiku. Dan karenamu, aku mampu bertahan dalam pedih.


Pemberhentian

“Selamat menikmati dengkuran malam. Kau yang hendak terpejam, masihkah perlu diingatkan dengan mantra? Kurasa perlu, selalu. Satu mantra untuk mimpi yang tak terkira.”

Telah tiba waktu hangat. Malam yang menjadi dongeng tua untuk mengantarkanmu pada gelap. Dalam sunyinya, kau diberi kesempatan berlayar di pinggir laut duka. Berseluncur di atas ombak derita sang Pendamba. 

Papan yang kau tunggang adalah aku, ombak yang kau tumpangi adalah kakiku; yang senantiasa mengayunkanmu. Senang, bukan? Nikmatilah deritaku hingga sampai di bibir laut. Hingga tiba waktu berhenti, kau sadar punggung siapa yang kau injak.


Tertimbun

“Aku tak pernah beranjak sedari awal. Bila aku tak lagi terlihat pandangmu, mungkin aku tidak benar – benar menghilang. Aku hanya tertimbun; kejenuhanmu yang mengalihkan.”

Nah, ada yang lebih menyeramkan dari rasa takut itu sendiri. Seolah berada di antara dua topeng, aku terhimpit rasa takut; diremas baja kalut. Dan kau yang berada di luar, hanya diam menyaksikan penderitaan yang tak kunjung selesai.

Aku tak pernah beranjak darimu. Sedari awal perjumpaan yang sederhana, aku tetap bertahan di tempat meskipun kau telah menghilang. Sesekali aku menerka kejadian romantis tatkala kau tak lagi ada di hadapan. Mengobrol ringan, melempar senyum, hingga tiba di pertengahan, kita saling bertukar sayang. Ah, begitu gilanya aku yang sangat mendambamu. Namun, setelah aku sadar kau tak kunjung kembali; aku berpikir bahwa mungkin kau lupa alamat kemari. Atau, kau menimbunku dan menggantikannya dengan keinginanmu yang lainnya. Kuharap jangan.


Malu

“Setiap kita memilikinya. Bahkan tatkala netra kita bertabrakan, ia tak sanggup menahannya. Kita menunduk dalam diam.”

Apa yang terbesit ketika kita dihadapkan adalah apa yang terbuai di dalam angan. Kau menyapaku lewat senyuman, aku membalasnya dengan anggukan. Lalu, kita mematung. Sibuk berkelahi dengan pikiran masing – masing. Padahal, kita tengah bersama.

Untuk saat ini, drama kita dimulai. Akan kuulang waktu sebelum kita berjumpa. Kita berjalan berpapasan, lalu ketika mata kita saling menyapa, waktu seolah melambat. Seperti iringan gerak lambat di sinetron – sinetron FTV remaja. Dan mataku yang tak kuat bertahan lebih lama, segera memandang tanah yang tertawa melecehkan. Kau pun sama; tak ada yang lebih sepi dari malu yang kita ciptakan sendiri.


Karena

“Sebenarnya, bukan ‘tapi’ yang mengantar kecewa. lebih tepatnya, semua adalah ‘karena’ yang digantungkan.”

Satu hal yang membuatku bertanya. Soal malam yang tak pernah terulang. Momen yang sangat dinanti – nanti menjelma khawatir yang panas menjadi – jadi. Kau menghilang ditelan meja yang dulu sering menjadi saksi rutinan kita. Di sini, pada dua kursi yang berhadapan, aku masih menanti ketidakjelasan. 

Bersama meja bundar yang menengahinya, aku bertopang padanya. Mengelus – elus, mengetuk – ngetuk, mencari – cari jalan keluar dari rindu yang menjebak. Hingga satu – persatu pengunjung kedai lenyap tertelan pintu keluar, aku masih bertahan sendiri. Aku tak pernah mengeluhkan ‘tapi’, yang aku bawa hanya ‘karena’. Sebab aku mencintaimu, aku mendambamu, aku menggilaimu, aku mencandumu, aku merindumu, aku menantikan wujudmu.


Lihat, segerombolan awan berbaris mengantre doa dariku. Dengar, desau angin berbisik lirih tentangmu. Rasakan, embun rindu meresap ke jantungmu.” 



Yumin Hoo


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu