Masih (prosa)

 "Bersama pilu di sebelah, membawa serpihan hati yang sempat tercecer, aku berlari mengejarmu. Sempat beberapa kali terjatuh, terpleset, hingga terluka. Namun sekelam apa pun, puncaknya adalah senyummu, yang mampu mewarnai hidupku.” Yumin Hoo.

Masih

"Masihkah waktu mau berpihak? Kembali sejenak demi mengulang masa itu; demi mengenang rasa itu; demi mendengar suaramu.”

Hai, kau yang tengah berjuang, masihkah ingat obrolan ringan di kala senja? Kurasa tidak. Kita berdiri saling menghadang, membahas ilmu yang tak mudah digenggam.

Kau bilang bahwa, “dunia ini sangatlah menipu. Siapa pun yang masih tertipu, berarti bodoh.”  Jangankan dunia ini, melihat sosokmu saja akalku telah tertipu; mata dan bibir yang melengkung itu, adalah kelemahan utama yang mampu menjatuhkan hatiku. Meski begitu, hatiku masih kuat berdiri demi mengejarmu; lagi dan lagi.

Hambat

Tanganmu mengepalkan isyarat keras, bahwa aku harus tetap betah di tempat; menanti hati yang mendarat di hadapan, sampai sang waktu menaruh rasa bosan. Aku bertahan.”

Biarkan tanganku menengadah, bibirku merapal, dan mataku terpejam. Aku ingin kata yang mengambang di langit sepertiga malam menjelma kenyataan. Namun, seperti ada yang menghadang; sikapmu, adalah hambatan pertama yang perlu aku robohkan.

Suka

Biarpun kau tiup semangatku, ia takkan pernah padam. Malah, kobarannya semakin menjadi tatkala kau bersikeras. Karena bagiku, kaulah bahan bakarku.”

Tunggu dulu, aku  mohon. Jangan biarkan huruf ini kau tinggalkan sendiri. Tolong, jangan tinggalkan aku dalam jenuhmu. Aku tahu kau bosan. Menyimak suratku hanya membuang waktumu saja.

Sabarlah sejenak, nikmati hidupmu. Kau perlu bernapas perlahan sembari tersenyum.

Lihatlah aku yang juga selalu sabar menanti hal yang tak pasti. Menantimu, sama seperti menunggu batu mengambang di atas air. Sungguh, suatu hal yang naif untuk mengharap kepekaanmu. Tapi, aku tetaplah suka.

Dusta

“Seringkali kurangkai ulang harapan yang sempat hancur. Meski kutahu semua salah, tapi akalku tetap tertipu. Karena cinta memang dusta.”

Jika dusta adalah penutup, maka tak ada jalan untukku keluar. Tapi jujur –kunci dari segala benar, takkan bertahan bagiku yang terlanjur berbohong.

Betapa sakitnya melihatmu terbentang  jarak; selalu buram ketika tampak. Betapa lemahnya diriku bila dihadapkan olehmu; seolah saraf hati terasa beku. 

Aku lumpuh tak berdaya; menggilaimu yang tampak indah di hadapan. Namun saat cermin menyapa, jiwaku tersadar betapa hinanya hatiku yang berharap besar padamu. Aku tak pernah pantas untukmu yang terang benderang. Karena aku hanyalah lumpur bagimu.


Hujan

“Rintiknya mengetuk perlahan kaca jendela, menyapa ramah dengan gemericiknya. Kuselipkan rindu bersama tetesnya; kumohon jawablah.” 

Kali ini aku termangu di dekat jendela. Ramai bintang bertebaran di atas sana; di balik jendela aku melihat bulan tersenyum kepadaku. Sabitnya seperti bibirmu; melengkung indah berselimut cahaya.

Kukira bertahan lama. Hingga akhirnya sang awan menutup segalanya; hitam menggelapkan dunia. Aku masih bertahan di tempat, menanti rintik yang mengetuk lirih kaca jendela. Kukirimkan surat kepadanya. Semoga sampai di sisi ranjangmu, lalu meyampaikan salamku; bahwa aku sangatlah rindu.


Luka

 “Derainya menyerbu dada, merasuk perlahan menuju saraf, menikam hati dan pergi ke ujung celah. Dialah luka yang berbentuk perasaan.”

 Akan kuperkenalkan kau dengan satu makhuk yang bernama Luka. Ia tercipta tatkala kita tengah kecewa. Bukan hanya itu, di saat sepi pun ia bisa hadir kapan pun jua. Bisa jadi ia datang tatkala rindu menyeruak. Bisa jadi ia hadir tatkala amarah selesai membara. Bisa jadi, ia muncul tatkala cinta tak lagi dianggap.

 Luka mampu menjelma apa saja. Suasana, keadaan, dan kau; di mana pun kau berada, sikapmu menelantarkan hati ini hingga mati. Jika kau masih di sini, maka kumohon duduklah sejenak sekadar menemani sepiku. Aku mohon, perbani hatiku yang sempat terluka. Kurasa hanya sentuhanmu yang mampu menghidupkannya.


Sakit

 “Kelak kita akan sadar, bahwa puncak dari mencintai adalah sabar. Dan itu menyakitkan.”

 Masih dengan luka yang sama, rasa yang sama, dan hati yang bopeng. Hei, kau tahu fungsi utama hati? Fungsi hati hanyalah sebagai filter; penyaring. Jika hati kau gunakan sebagai perasa, lalu siapa yang akan menyaring racun dan sampah di dalam tubuh? Pantas saja kau sering sakit – sakitan. Orang hatimu kau gunakan di tempat yang salah.

 Haha.. tak lain nasihatku hanya untukku seorang. Namun, jika kau mau, ambillah. Aku ikhlas. Sedikit memberi mampu menutup beberapa luka yang ada di hati. Namun jika kau tak mau, bagiku sangatlah biasa. Semua terasa biasa; mencintaimu sudahlah biasa; dibalas kecewa sangatlah biasa. Namun, mencoba sabar untuk tetap tegar di hadapanmu; sangatlah berat. Karena di belakangmu; aku rapuh.

Asa

”Di sela – sela bait rindu, kuselipkan sebuah harapan. Semoga doaku menyentuh batinmu.”

Pernahkah kau merindu? Adakah setetes harapan yang dijelmakan? Semua terasa ambigu tatkala rindu menggebu – gebu. Rindu terdalam yang kurasakan tatkala malam menjemput; dinginnya mengantarkanku pada kisah pilu dulu.

Anganku mulai merangkai bayangmu. Perlahan, muncul mata yang menyipit, pipi yang mengembang, dan bibir yang melengkung.  Semua terangkai indah membentuk wajahmu yang utuh. Rinduku mengantarkan sejarah ke masa kini. Berdebat dengan rasa; berkelahi dengan waktu; hingga tak terasa, petang datang mengguyur khayalan. Aku terlelap, menjemputmu di alam selanjutnya. 



“Aku masih bertahan bersama derita. Menanti senyum terkembang di balik mata; mencari bayang di dalam gelap; meraih angan di atas awan. Aku tetap bertahan, sampai bulan terbit di siang hari; menjelma waktu yang tak lagi berarti.” 



Bangun Rejo, 3 Oktober 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu