Bertahan

 Mencintaimu adalah candu terparahku. Kendati, partikel rindu mengendap bersama pilu, menyusup pelan menuju jantung. Biarpun lara terus – menerus menusuk; mendambamu seolah nikmat tersakitku.” Yumin Hoo.

Ada 

“Sangat mudah membuatmu jatuh cinta. Aku hanya perlu menjelma uang, menjadi bagian dalam keseharianmu. Karena meski kau menolak; kau tetap butuh.”

Mungkin ini sebuah kontradiksi. Anganku terus berlari mengejarmu, sementara realita; sikapmu terus – menerus menepisku. Tapi biarlah, cinta itu memang bodoh. Akalku yang terlanjur kau genggam sudah tak mampu digunakan sebagaimana mestinya. Sudah menjadi hak milik untuk kau rawat atau pun kau hancurkan. Karena bagi Pendamba, lara sudahlah biasa.

Oh, ya, aku ini seperti uang bagimu, yang bersembunyi di dalam dompet. Ah, bukan, tepatnya di ruang hatimu. Aku tahu, diam – diam kau menyembunyikanku di dalam saku, kan? Diam – diam kau membutuhkaku sekadar menepis angan, kan? Aku tahu. Kita saling terkoneksi; bahkan saat kau menjauhiku, di kepalamu aku tetap nyata.

Selalu

“Siapa lagi yang dapat mengurangi beban yang menindasmu? Tiada yang peduli barang sedikitpun. Tapi aku, selalu dan akan terus selalu ada untukmu. Mengertilah.”

Tatkala duniamu berantakan, pikiranmu terbakar, dan hatimu hancur; kau memanggil semesta untuk bisa diajak mengerti. Menceritakan keluh – kesah yang tak bertepi, hingga esok datang menjemput; kau tetap tak bisa dimengerti. Semesta pun pergi, kembali ke rumah tempatnya bermimpi. Mereka pergi sebab menyerah untuk mengerti.

Tunggu dulu, jangan dulu frustasi. Tunggu sampai semuanya pergi; sampai tak ada lagi sisa – sisa jejak kaki. Dan kau akan menemukan sosok lugu yang tetap bersikeras memeluk kesedihan. Itulah aku.

Mengenang

­­­“Segelintir canda menyusup ke celah hati, menabur rasa dingin di sudut – sudut perih.”

 Secercah rindu membawaku pergi ke lubang sepi. Ia membawakan sebaskom memori yang telah usang untuk memperlihatkan bagian dalam yang ternyata masih bisa digunakan. Kumasukkan ke dalam pikiran, lalu pikiran memproses jutaan gambar. Hei, di sana aku menemukanmu! Kau yang dulu sempat aku benci adalah kau yang kini aku sayangi dengan hati yang gersang ini.

 Namun, setelah jauh aku menyelam, aku menemukanmu di tengah keterpurukan. Ingin aku menolongmu yang kini hampir sekarat. Tapi, sebelum kau selamat dengan pipi yang mengembang, izinkanlah aku untuk menertawakanmu; sepuasku. Karena kenangan memanglah lelucon belaka.

Pasti

 “Akan kupastikan setiap harimu adalah bahagia. Jika serpihan sedih muncul berserakan, itu bukan salahku. Salahkan mindset-mu. Karena aku hanya memastikan, dan alam cukup mengiyakan.”

 Jika boleh, aku ingin meramal tentangmu. Kau di sana sedang terpuruk, kan? Mengaku sajalah, aku takkan keberatan dengan keberatanmu. Huhu.. yang pasti kau memang sedang terpuruk.

 Jika boleh, aku ingin memberimu sedikit salju. Sedikit saja, kurasa kau takkan menolak. Namun, sebelum kau menerimanya dengan rasa yang sangat dingin, kumohon, percayalah padaku; kau akan bahagia setelah ini. Pahami kutipan yang bertengger gagah di bawah judul itu, lalu bersyukurlah karena telah menemukannya.

Istiqomah

“Derainya selalu menetes di akhir waktu malam.  Menetes, terus-menerus menempati, hingga berlubang batas yang memisah itu.”

Akan kutunjukkan betapa kerasnya hatimu itu. Hati yang bukan sekadar baja; hati yang tidak lagi bersahaja; hati yang  selalu dipuja-puja; olehku, tentu saja. 

Oh, betapa hatiku sangatlah nelangsa, sebab hatimu yang tak bisa diterka. Sempat laut bertanya kepada hujan yang turun perlahan, “apa yang kau lakukan di sana? Kenapa kau terus-menerus membasahiku? Padahal, aku memanglah basah!”

Dari balik tirai aku hanya menyimak. Hujan menjawab, “kau takkan pernah paham. Aku turun sebab perintah, aku turun sebab tujuan. Tiada lain untuk sebuah pelajaran.”

“Apa maksud tujuan yang kau tunjukkan?” Tanya laut.

“Bukan hanya kau, laut, yang aku basahi. Tapi juga hutan, tanah, rumah, dan gua! Jadi, mengertilah!”

“Aku tidak paham apa maksudmu”

“Jangan terburu-buru menyimpulkan, laut, perlahan kau akan mengerti. Perlahan.” Pungkas hujan di batas awan putih.

Aku tahu maksud hujan. Ia sama sepertiku; terus-menerus menetesimu sebab perintah, sebab tujuan yang tak pernah mampu ditangkap. Aku mencintaimu, beri sedikit kesempatan bagi waktu, dan aku yakin istiqomahku menghancurkan kerasmu.


Halu

 “Semua dibatasi, tapi tidak dengan halu. Ia laksana angkasa yang tak mampu terkira mana batasnya" Yumin Hoo

 Ketika hidupku hampir kiamat karenamu, sepi menawarkanku sebuah halu; ruang di mana aku takkan pernah merasa sendiri. Tanpa mencari, di sana kau mendatangiku dengan penuh rasa hormat. Kau bawakan seutas bunga, secarik sajak, dan embun yang sejuk. Tanpa segan aku menerimamu, kau memelukku dengan sangat erat.

 Tentu saja ini halu. Tak perlu melihat fakta. Aku betah di sini, bersamamu. Kendati kau pergi jauh di sana, aku tak peduli untuk saat ini. Yang terpenting bagiku: kau ada untuk saat ini, menopangku yang kini berpura-pura melelah, menimang – nimang, memanjakan, hingga aku benar – benar terlelap. Dalam pelukanmu, aku merasakan detak kita seirama, nadi kita berkonspirasi, dan nafas kita menyatu. Sungguh, aku menikmati momen ini. 


Menjadi

 “Beberapa sepi memang jenuh. Ramai pun tak menjamin seru. Terkadang sepi membawa happy, terkadang ramai tak bisa santai. Apa perlu aku menjadi waktu? Agar kau terus membutuhkanku.”

 Satu menit yang terasa satu jam, isyarat hati yang mulai bosan menantimu. Bosan meletakkan percaya di batu harap; bosan mencari pasti di tungku yang hangus; bosan menanti cinta yang jatuh di pohon.

 Apa perlu, aku menjadi uang, agar kau terus mencariku? Apa perlu, aku menjadi bintang, agar kau terus mengagumiku? Apa perlu, aku menjadi malam, agar kau terus menemuiku? Apa perlu..


Izinkan

 “Beri asa sedikit waktu. Sedikit saja, untuk membiasakan perasaan. Izinkanlah sebentar, sampai kau benar – benar mengerti.”

 Kau tercipta dari kebiasaan, semua berawal dari kebiasaan. Cinta? Juga dari kebiasaan yang terus – menerus diadakan, tanpa adanya paksaan; cinta terlahir bahagia. Maka, berilah sedikit saja detik ini untuk berkembang biak demi terbiasanya hatimu denganku. Akan kutunjukkan betapa semesta merestuinya.

 Takkan kubiarkan kau terdampar di pengasingan, takkan kubiarkan kau terlilit duniawi, takkan kubiarkan kau terpuruk kesepian. Aku bersamamu; kita bersama – sama.



 “Seutas rumput, sepasang awan, udara yang sejuk. Tiada panorama yang teduh dipandang selain matamu yang kerlip berkaca – kaca. Tiada lanskap yang rapi selain komponen yang melekat di wajah sendumu itu. Sungguh, aku betah mendambamu; terus – menerus.”



 Yumin Hoo

 Jumat, 13 November 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu