Reparasi Diri

     Ketika aku sudah terlalu lelah mencari jawaban, aku hanya bisa pasrah. Hanya ada 2 pilihan bagiku untuk melanjutkan perjalanan; yaitu meratapi kehidupan, atau pergi menelusuri syaraf dan menemui sahabat kecil; Nurani. Aku pikir ada baiknya juga mengunjunginya, daripada terus berkubang di zona kesedihan.
     "Apa, memperbaiki masa lalu?" Katanya setelah mendengar aduanku.
     "Masa lalu mana bisa diperbaiki," lanjutnya, mengulang kata sebelumnya.
     "Waktu hanya berjalan maju, tak bisa diperintah berhenti apalagi mundur. Jadi, apa perlu kita masih menyesali kesalahan? Ayolah, bangkit. Aku yakin kau kuat. Yang dulu biarlah berlalu, jangan kau sesali. Toh tidak akan bisa kau ubah, bukan? Atau mungkin bisa? Oh ya, aku tahu. Bisa, tapi cuma di pikiran, kan? Kau berkhayal kembali ke masa lalu dan mencoba mengubah skenario kejadian. Bravo. Kau hebat; dalam hal mengkhayal. Tapi, setelah kau sadar, apakah segalanya berubah? Tidak.
     Bukan maksudku untuk melarangmu berkhayal. Hanya saja, ada satu hal yang tidak kau perhatikan, kau lewatkan begitu saja. Apa itu? Setelah keluar dari ruang imajinasi, kau lupa untuk mengambil sebuah 'pelajaran'. Di situlah letak jawabanmu. Bukankah kau pernah menulis bahwa sejarah adalah obat? Dan bagiku, sejarah merupakan jawaban. Renungkanlah."
     "Jujur, ya, aku enggak paham dengan apa yang kau katakan," jelasku; setelah menyimak panjang-lebar ceramahnya.
     "Sebenarnya simple, kok. Kau hanya perlu bersikap jujur. Orang belajar dari kesalahannya; asalkan mau diakui dan disadari."
     "Emang aku nggak jujur, ya?"
     "Bukan itu maksudku. Cobalah kau perhatikan masa lalumu. Saat kau mengenangnya kembali, masih adakah penyesalan yang menyelimuti dirimu? Jika iya, maka kau harus mencoba belajar ikhlas. Bukankah kau pernah menulis tentang keikhlasan? Ah, kau ini, selalu saja menjadi lilin."
     "Lilin? apa maksudmu lilin?"
     "Kau menyinari banyak orang sementara dirimu sendiri hangus terbakar."
     Sungguh, bak pohon disambar petir di siang bolong, badanku terasa belah jadi dua. Sindiran macam apa ini? Tak tahulah, yang jelas ia lebih benar sepenuhnya.
     "Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?" Tanyaku kemudian.
     "Cukup sederhana. Kembalilah ke alam nyata dan buka kembali catatanmu. Kau akan menemukan jawabannya".
     "Itu saja?" Tanyaku lagi. Ia hanya mengangguk.
     Setelah pamitan kepadanya, aku langsung menyelami catatanku. Dan ternyata benar, aku menemukannya! Di sana termaktub sebuah kalimat, "Sejarah hadir menawarkan obat kepadaku, lalu aku menerimanya: ternyata obat itu adalah "ikhlas". Iya, ikhlas. Dan ini masih tentang sejarah. Apa pun yang aku lakukan di masa lalu, bukan jaminan untuk menentukan masa depanku. Jadi? Aku harus mengikhlaskannya. Tak perlu pusing memikirkan kesalahan. Yang terpenting adalah, bagaimana caraku memahami suatu pelajaran yang dilahirkan oleh kesalahan. Dan kemudian menyikapinya secara bijak di masa sekarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu