Postingan

Tenang

Gambar
  "Kembali padamu, Malam, dan segala sisa yang mengendap di masa lalu tercipta untukmu." Tenang             Tiada yang mengerti tentang rasa dan kebohongan hati selain waktu dan alurnya. Sekelam duka, sekalut luka, sekejam nista; kita berjalan di atas kemunafikan. Tenanglah, aku hanya masih mencoba, bukan menyerah. Kau yang sejauh langit masih tetap indah dipandang dari bumi, dan mataku takkan lelah dengan sembabnya penantian yang tak pernah berhenti.             Mengertilah, meski kau terus membenci dan berlari, tak akan lelah aku pun mencari warna dari balik luka ini. Tenanglah, aku hanya masih berdoa, bukan menyerah. Kau yang sedalam nestapa tetap nikmat diingat dari mimpi dan asa. Lalu dengan penuh kesabaran aku menjemputmu. Jengkal             "Pertanyaan di mana tempat kita sekarang hanyalah sunyi; doa dan perjuangan untuk saling menutupi."             Seribu hari, sejuta rasa, selama rindu dan segala residu di dalam jiwa. Pernah dunia melemparku k

Luka

              “Manis adalah rasa yang terbit dari hambar. Karena, yang indah hanya luka,” Yumin Hoo. Luka             “Pada fisik ia sangat baik, tak pernah singgah terlalu lama. Pada hati ia sangat baik, memberi lara dengan masa yang sangat lama.”             Baik, bukan? Luka yang memberimu rasa sakit. Terkadang, luka memberimu rasa nikmat. Bukankah selama ini kita melupa? Saat bahagia mampir, Dia kau simpan di mana?             Rasakanlah, betapa hidup sangatlah pahit. Seharusnya kita menikmati luka yang sekarang tengah bahagia. Berbahagialah bersamanya. Sebab hanya dengannya kau bisa sempurna.   Jahat             “Nalurimu berkata, ‘jangan lakukan!’ namun jiwamu menentang, ‘mari wujudkan!’”             Tentang hidup, siapa yang menjamin? Sesekali kita menebak, sesekali kita terjebak. Siapa yang jahat? Hidupmu atau caramu? Kita adalah sama; menjahit luka yang semakin terbuka.             Tentang mimpi, siapa yang mengatur? Sesekali kita berjuang, sesekali kita terb

Lunglai

“Sebagian rasa yang sangat gila dengan cinta takkan lagi terjatah luka”  Butuh banyak air mata dan darah untuk sekadar mencintaimu. Bumi ini telah tua dan hasratku tetap muda. Ingin jiwaku berhenti berlari; ingin napasku berhenti memompa; ingin segala tentangmu terseret ombak dan sirna. Namun separuh hatiku kau bawa bersama kepingan jiwa.  Angin telah menjadi badai; ingin telah menjadi helai. Meski sampai saat ini aku tak pernah paham tentangmu dan rasaku, kau tetap bintang yang kutunggu jatuh menimpaku. Lalu aku yang telah menjadi tanah kelak bisa mengerti bahwa sabar memang seharusnya tak diberi batas.    Cabik    “ Yang saling membenci itulah yang saling mencintai.”   Setiap hari bersama waktu yang kejam aku mulai melukis dengan darah. Dengan hati yang menjadi kanvas dan air mata yang berubah warna. Amarahmu yang menjelma kuas mencabik – cabik angkasa dan sedihmu mengeringkan warna yang tercipta. Hasilnya, terciptalah maha karya indah yang berkisahkan tentang cinta dan luka yang sal

Antara (Prosa)

"Jauh di sudut bumi yang paling gersang itulah kita hidup. Dalam pelukan masa lalu yang menjadi dongeng sebelum tidur; kita saling berbagi harapan di sela – sela kisahnya.” Beberapa rindu tidak perlu dikatakan; beberapa rasa tidak perlu dinyatakan; beberapa kata tidak perlu dituliskan. Entah bagaimana kita mampu melewati segala kemustahilan yang terus – menerus menghadang demi tersampainya dua rasa yang terpenggal. Entah bagaimana cara Tuhan menyatukan dua hati yang berseberangan. Entah bagaimana kita melanjutkan perjalanan yang tak pasti mana batasnya. Pada setiap langkah yang kita angkat, hanya nama yang berbunyi dengan lantang; hanya doa yang menjadi bahan bakar. Bangunrejo, 24 Oktober 2021

Makna (prosa)

      “ Bagi rindu, pertemuan jauh lebih bermakna daripada sekadar kata-kata,” Zeventina. Jika cinta bergantung pada harta, apalah daya bila uang tidak lagi berharga. Jika cinta bersandar pada mata, apalah guna bila pandangan telah memudar. Jika cinta berpegang pada kata – kata, apalah hidup bila ucapan tak lagi bermakna. Hei, apakah kita benar – benar saling terhubung? Atau hanya saling terselubung? Jika kita berharap pada doa, apakah cinta kita bermakna? Lebih daripada doa, mencintaimu adalah makna yang tak mampu dipahami dalam kata, juga mata. Awang “Mengapa kau jatuh cinta pada cinta yang tak jatuh padamu? Bahkan kau sendiri tidak memahami hatimu” Ketika senja menghilang, kau terbenam bersama kenang yang menggenang. Ketika maghrib menjelang, kau memerah di seberang. Ketika doa menjulang, kau kembali berpulang. Kau datang mengulang hari yang sempat menghilang.  Hadirlah dalam sunyi gelap malam. Terangilah diamku dalam peluk rindu yang bersemayam. Kau jauh lebih indah dari

Bagai (prosa)

"Seharusnya, cinta tidak perlu dipaksakan. Rasa yang tulus akan menciptakan sikap yang halus. Bagai gurun yang tandus, tak ada yang perlu diperjuangkan selagi yakin tetap lurus.” Jatuh “Tumbuh benih harapan dalam hening senyumanmu. Kuharap itu bukan palsu yang menyamar dengan ragu.” Akirnya, kau menoleh ke belakang. Menatap wajah yang hampir redup oleh harapan. Wajah yang tidak pernah dibasuh ketenangan; wajah yang tidak pernah digosok kesenangan; wajah yang kusut. Kau perhatikan kerutan lembut yang terukir dengan rapi; garis yang menggambarkan jiwa lemah. Kau menatapnya dengan lelah, dan dengan sangat terpaksa kau menghampirinya yang kini sangat susah. Kau mulai membelai, memberi vitamin rasa penyemangat, menanyakan sisi mana yang terluka, mengobatinya dengan cinta. Lalu wajah itu mendadak gembira, tumbuh harapan yang mencuat, lahir senyuman yang tersirat. Namun sebelum rasa itu beranak – pinak, kau tusuk hatinya yang baru saja sembuh dari hampa. Kau tatap dengan ragu, lalu

Pernah (prosa)

  “ Pernah, kan? Merindukan suatu tempat yang dipenuhi lukisan bintang. Membelah kota di sepanjang keramaian. Merobek sunyi yang mendadak kedinginan. Menjadi satu di tengah kehangatan” Pernah “Menemukan dan kehilangan, adalah hidup. Segala yang pernah, pada akhirnya tetap punah” Nahas, debu itu adalah kita. Dari sekian banyak yang berhamburan, hanya kita yang  berlumuran. Malam – malam yang bercorak puitis, menjelma kenangan yang terukir sadis. Benar, bukan? Pada akhirnya, kita saling menyangkal kemungkinan. Pada akhirnya, kita saling menuduh kepastian. Sebelum yang terindah itu pernah; nadi kita seirama, langkah kita beriringan, senyum kita bertebaran. Pernah, sebelum akhirnya tetap punah. Singgah “Mengulang dan berpulang, adalah kenangan. Menjadi kurang dan hanya bersarang” Apa untungnya mengingatmu yang sedari dulu adalah ragu? Rasa pun ragu untuk menikmati kenangan yang hanya sebatas jarang. Kita jarang menyapa, untuk apa bertanya siapa? Kita jarang bertukar kata, untuk

Mencandu

  “ Khawatirku semakin dalam menggali tentangmu. Akankah semesta  menjadikanmu bintang yang kelak disandingkan rembulan atau jatuh ke dalam lumpur yang berharap kecupanmu?”  Larut “Terlalu banyak rasa sakit yang dibalut gelak tawa. Namun larut dalam temu yang menggema.” Jauh sebelum ada pertemuan, gelisahku dipupuk kehilangan. Ada yang lebih sakit dari pahit; perih dari lirih; pedih dari sedih. Ada, jauh sebelum kehilangan dipertemukan. Setelah melumut dalam tawa, sakit tak lagi menakutkan. Ia telah menyatu dalam kehidupan. Menyatu dalam keseharian. Menyatu dalam pertemuan yang selalu dan akan terus mengaduk kita dengan detiknya. Hingga kita melarut bersama waktu. Cemburu “Aku takut jika mimpiku selamanya hanyalah mimpi.” Senyuman, doa, tangisan, tawa, ratapan; adalah residu yang melekat dalam sunyi kerinduan. Perjuagan, rintangan, semangat, lelah; adalah cara rasa menafkahi penasaran. Untukmu, aku melintasi banyak luka dengan penuh suka duka. Untukmu, aku menyelami laut pe

Tanya

  Gila “Seutas rumput terasa nikmat dikecap lidah si penggila. Ia adalah panggung bagi sangka yang tercemar; tawa yang digelar; sinis yang beredar.” Seorang tua yang berjiwa muda memanggul baskom yang berisi larutan kenang. Setiap langkahnya adalah tawa yang menggelegar sepanjang jalan. Selagi hidup, seorang tua selalu mengucap mantra yang tak wajar. Terkadang tersedak sikap bayi yang menggantung di dalam pikiran. Terkadang tersandung batu sadar di dalam jiwa. Seorang tua berlari mengejar fana. Demi menggapai nikmat si fatamorgana; demi menggenggam bahagia si abu yang sirna. Ia tertipu indahnya pesona dalam dekap si buana. Tanya “Derai kata menghujani tempurung rasa. Baik menjelma kutuk yang menyangka; buruk menjadi kata yang sejuk.” Pernahkah kita tenggelam ke dalam batuk sang duka? Ia menelan baik yang tersemat di kepala para benci, lalu menyebarkan aroma buruk dengan dahak yang meledak. Dalam perut sang duka, kita mengendap bersama jutaan dosa.  Sebelum bebas dari pengap