Lunglai


“Sebagian rasa yang sangat gila dengan cinta takkan lagi terjatah luka” 

Butuh banyak air mata dan darah untuk sekadar mencintaimu. Bumi ini telah tua dan hasratku tetap muda. Ingin jiwaku berhenti berlari; ingin napasku berhenti memompa; ingin segala tentangmu terseret ombak dan sirna. Namun separuh hatiku kau bawa bersama kepingan jiwa. 

Angin telah menjadi badai; ingin telah menjadi helai. Meski sampai saat ini aku tak pernah paham tentangmu dan rasaku, kau tetap bintang yang kutunggu jatuh menimpaku. Lalu aku yang telah menjadi tanah kelak bisa mengerti bahwa sabar memang seharusnya tak diberi batas. 


  Cabik 

 “Yang saling membenci itulah yang saling mencintai.” 

Setiap hari bersama waktu yang kejam aku mulai melukis dengan darah. Dengan hati yang menjadi kanvas dan air mata yang berubah warna. Amarahmu yang menjelma kuas mencabik – cabik angkasa dan sedihmu mengeringkan warna yang tercipta. Hasilnya, terciptalah maha karya indah yang berkisahkan tentang cinta dan luka yang saling berpelukan. Mengertilah, kita sama – sama pembenci yang mengharapkan matahari. Sebelum datang umpatan dan senandung indah dari mulut masing – masing, kita diam – diam saling menyendiri; berdoa dan berkarya dengan hati. Di dasar hati yang paling dalam: kita saling mencintai.

 * Bangunrejo, 15 Maret 2022

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu