PENJARA SUCI
Oleh : Yumin Hoo
Mulai tampak dengan jelas gerbang hijau mengerikan
di balik kaca mobil. Desainnya yang sengaja dibuat penuh dengan duri membuat
nyali siapa saja yang memasukinya menjadi ciut. Tertulis kaligrafi arab di atas
gerbang “Ponpes Balekambang”.
Ketika
kami turun dari mobil, kusapu pandangan di sekitar. Ramai orang-orang
berseliweran dan kendaraan terparkir tak beraturan di halaman pesantren.
Tatapanku berhenti saat melihat seorang perempuan menangis tersedu-sedu memeluk
Ibunya seolah tak rela berpisah. Hatiku terenyuh melihatnya. Kutatap
lekat-lekat Ayah dan Ibu yang sedang sibuk menurunkan barang-barangku dari
mobil. Tak terasa air mataku mulai meleleh. Segera kuusap sebelum yang lain
melihat.
Selesai
Sowan kepada Kyai pengasuh, kami diantar
oleh salah seorang santri salaf menuju
kamar yang telah disediakan. Baru kali pertamanya aku memasuki Asrama
pesantren. Bangunannya terkesan sangat kuno. Hampir tujuh puluh persen semua
terbuat dari kayu. Kamarnya pun tak begitu luas. Usah dibayangkan tempat
tidurnya mewah bertingkat, kalau ingin tidur nyaman ya harus membeli kasur
sendiri. Busanya pun tak begitu tebal, mungkin hanya tiga setengah senti.
“Dek.,
kamu yang sungguh-sungguh ya belajarnya di sini” nasehat Mama sebelum pergi
meninggalkanku. Sungguh aku tak kuat lagi, tangisku pecah membanjiri pipi.
“Le,,
kamu yang sabar ya” Ayah mencoba menguatkanku. Aku semakin terisak.
Aku
langsung menghamburkan pelukan kepada keduanya. Tak perduli dengan orang-orang
di sekitar yang juga mulai sesenggukan.
“kamu
yang kuat to, Dek ! Cah lanang kok
nangis !” ucap Mama tegas sambil melepas pelukan.
Aku
mengangguk sambil mengusap air mataku. Kuperhatikan wajah mama untuk kali
terakhirnya. Wajah yang teduh, namun ketika kutatap mata Mama, matanya bening
berkilauan tak dapat berbohong. Mama sangat kuat membendung air matanya.
Wajahnya tetap teduh dan tenang.
“yaudah,
kita langsung pulang. Jangan cengeng gitu, ah! nanti kamu punya banyak temen
di sini” lanjut mama.
Kuantar
mereka sampai di pintu kamar. Ketika mereka keluar hendak memakai sandal, dengan
segenap rasa hancur disertai isakan tangis aku mencoba menguatkan
“Hati-hati…”
ucapku dengan suara parau. Seketika itu Mama berbalik badan dan berlari
kearahku lalu memelukku. Kali ini bendungan air mata Mama pun pecah membasahi
bajuku.
“aku
akan rindu, Ma…” bisikku disela tangisku.
“kita
juga, jaga dirimu. Jangan lupa belajarnya seng
temenan !”
“seharusnya
sebaliknya, Ma. Jaga diri kalian”
Setelah
mereka mulai jauh samar dari pandangan, tak kuat rasanya diriku. Kubenamkan
wajahku diatas bantal dan menangis sejadi-jadinya sambil berteriak.
…
“Perhatian, bagi semua santri harap keluar
dari asrama, berkumpul di halaman !” terdengar olehku pengumuman dari pengurus
melalui pengeras suara. Segera aku keluar dari kamar dan menyusul barisan.
Di sampingku berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi kurus, namun berkulit putih.
Rambutnya yang keemasan terkesan seperti Bule
masuk pondok.
“Rizqi
Assegaf” senyumnya seraya mengulurkan tangan kepadaku
“eh,,
Fadli” balasku sambil menjabat tangannya. Aku merasa kikuk.
“sudah
berkumpul semua !? baiklah., Sebelum memulai kegiatan di pagi hari ini, mari
kita Roan bersama…” kata pengurus
pada barisan yang ada di hadapannya.
“Roan itu apa, to?” tanyaku pada Rizki.
“entahlah.
Seingatku sih bersih-bersih pondok”
“
kamu pernah mondok sebelumnya?”
“enggak,
Cuma pernah dengar saja” ucapnya sambil tersenyum.
“Hei,
kalian! Malah ngobrol sendiri. Ayo sana bantu yang lain bersih-bersih” panggil
pengurus sambil menunjuk ke arah kerumunan santri yang sedang mencabuti rumput
di halaman. Kami lalu berlari menyusul rombongan yang lain.
Setelah
Roan selesai, datanglah mobil colt mengangkut
makanan. Terdapat beberapa termos nasi dan beberapa baskom yang di dalamnya
potongan tahu dan tempe berkumpul. “Cuma itu?” gumamku dalam hati. Ketika kami
hendak berebut mengambil makanan, seketika pengurus berkata
“Hei, hei..!
kalian janganlah begitu, tak manfaat ilmunya nanti. Kembalikan! Ayo kembalikan!
Seharusnya mengantre”
Tempe
dua potong di genggamanku terpaksa harus dikembalikan. Ketika kubalikkan badan
dan..”Alamak! panjang betul antreannya?”.
Aku segera menyusul barisan. Entah keberapa puluh antrean diriku ini untuk
mendapat jatah sepotong tempe yang dibagikan oleh pengurus.
…
“Mama…
Aku nggak betah, rasanya ingin pulang saja”. Rengekku sambil memegang Hp milik
pengurus.
“lha
kok begitu? Katanya dulu ngebet banget pengen mondok. Lagi ada masalah, ya..”
balas mama dibalik suara Hp. Lalu aku menceritakan semua keluh-kesahku. Mulai
dari bangun tidur hingga tidur kembali. Mulai dari peraturan pondok yang sangat
ketat, keluar area pun tak boleh.
Akan dikenakan denda. Makan antre, mandi antre, bahkan jajan di kantin pun
antre!. Selalu kehilangan barang-barang, pakaian, apalagi sandal! Di sini
membeli sandal seperti membeli jajan saja. Seolah disini mencuri telah menjadi tradisi.
“kamu
yang sabar ya, Dek.. toh udah jauh-jauh dari rumah, masa’ gak kerasan?”
“Ma,
sudah habis sabarku ini…semakin tersayat hatiku ini, Ma melihat beberapa
temanku di pondok ini yang keterlaluan. Aku…” belum sempat kulanjutkan
kata-kataku, tiba-tiba
‘Tut…tut…tut…’
sambungan telepon diputus dari seberang.
Aku
segera berlari menuju kamar mandi. Tangisku meledak. Kunyalakan keran air agar
tak terdengar dari luar.
…
Sudah
satu setengah bulan, bagiku terasa satu setengah tahun berada dalam Penjara Suci ini. Kenapa tak pernah ada
kabar dari orang tuaku?, kenapa mereka tak pernah meneleponku lagi?. Aku
menghampiri pengurus dan meminjam Hpnya. Aku mencoba memberanikan diri untuk
menelepon Mama.
“iya,
dari siapa ya?” suara perempuan dari seberang.
“ini
aku, Ma.. Fadli. Aku kangen, Ma..”
“Eh,
ini Mbak, Dek.. Mama lagi pergi
menghadiri pengajian Ibu-ibu”
“Loh,
Mbak. Mama lagi pergi?” hatiku kecewa. “padahal aku pengen banget ngomong sama
Mama. Penting ini, Mbak !” lanjutku.
“oh,
ngomong aja. Nanti Mbak sampaikan” katanya.
Sekilas
kusapu pandangan di sekitar. Lalu dengan lirih aku berkata
“begini,
Mbak. Sebenarnya aku pengen Boyong”
“loh,
kok?.. dengerin Mbak ya, Dek. Kamu udah lupa sama tujuan awalmu? Kalo udah
boyong, kamu gak malu sama teman-temanmu?, terus lagi, kalo jadi boyong, kamu
gak merasa ngecewain mama sama Ayah?”
“iya,
sih. Tapi, Mbak..” belum lanjut, udah dipotong
“kemarin
saat terakhir kamu telepon Mama, Malamnya Mama curhat sama Ayah sambil
menangis. Mbak rasa Mama kecewa sama kamu”
Air
mataku mulai meleleh membanjiri pipi. Hatiku mulai berkecamuk tak karuan.
Di saat itulah aku mulai sadar.
“iya-iya,
Mbak. Aku janji gak akan kepikiran boyong lagi” ucapku agak parau.
“nah,, gitu
dong! Itu baru adek Mbak yang gentleman!”
Seru Mbakku.
………………………………………………………………………………..
Tiga bulan telah
berlalu, hari-hari kujalani dengan tenang. Meskipun ada saja masalah yang
selalu hadir, aku sudah bisa memakluminya. Karena masalah merupakan bagian
dalam kehidupan juga. Aku mencoba belajar dari pengalaman, karena pengalaman
adalah guru yang terbaik. Aku akan terus berjuang! Kata Bung Karno :
“Perjuangan
butuh pengorbanan, tapi sacrificed is not
wasted ( pengorbanan tidak akan sia-sia
)”
The End…
Komentar
Posting Komentar