Who Am I?


Pada saat aku menyendiri, jauh dari keramaian, tak ada hal lain yang aku lakukan selain 'merenung'. Iya, merenung. Pernah kau merenung? Jika pernah, apa yang kau pikirkan? Cinta kah? Pelajarankah? Atau kehidupan? Apa pun itu, yang jelas merenung akan membawamu ke tujuan akhir, yaitu 'hasil'. Iya, hasil dari perenungan itulah yang bisa dibilang atau kita sebut sebagai 'jalan keluar'.

Pertanyaan pertama kali yang muncul saat aku menyendiri adalah "Man Ana?" Siapa saya? Kemudian aku mengambil sebuah cermin untuk menyaksikan langsung bagaimana wajahku sekarang. Hidung yang pesek dan sedikit lebar, dibalut kulit yang kasar berbintik-bintik hitam, dengan teksturnya yang.. bisa dibilang lebih tua daripada umurnya. Dan lagi, rambut tipis yang tak pernah disisir. Ah, memang faktanya begitu.

"Lihatlah, Gra! Lihatlah wajahmu yang jelek itu! Masihkah kau mau melakukan keburukan yang akan menambah buruknya wajahmu?" Kata bayangan di balik cermin.

Sungguh, aku ingin menangis, sekarang. Hanya saja, aku bertahan. "Tetaplah tegar, Gra," suara hatiku menyemangati. Tidak kuat rasanya menatap wajahku di dalam cermin, segera aku masukkan ke dalam saku sebelum muncul hinaan yang lain.

Benar katanya, aku ini orang yang jelek, maka yang harus aku lakukan adalah menghindari kelakuan yang buruk, yang kelakuan tersebut dapat menambahkan semakin jeleknya wajahku.

Intinya bukan hanya jelek. Aku pun orang jahat, sebenarnya, jadi yang harus aku lakukan adalah menghindari kejahatan sebisa mungkin agar aku tidak semakin jahat. Dan lagi, aku pun bukanlah orang baik, sebenarnya, dan itu identik dengan jahat. Maka untuk menyamarkan kejahatan yang menempel pada diriku, aku harus berbuat kebaikan.

"Tidak semudah itu, Gra," protes hati kecilku.

"Apa susahnya, sih? Kalau ketemu orang tinggal disenyumin aja. Begitu kan sudah dihitung kebaikan."

"Bukan begitu. Kau pikir hanya dengan murah senyum orang lain bisa menerima, begitu?"

"Maksudnya?" Tanyaku, mulai tak mengerti.

"Tanggapan orang mah beda-beda, Gra. Belum tentu mereka bisa menerima sikapmu"

"Kenapa?"

"Ya mungkin, bisa jadi kalau kamu senyam-senyum terus kepada orang, nanti malah dianggapnya kamu itu gila"

Baiklah, aku mulai tersinggung.

"Lha terus maumu apa?!" Tanyaku tak sabaran.

"Susah juga ya, nasihatin kamu. Atau begini saja, simplenya, apa pun yang kau lakukan, pastikan hidupmu berarti".

Pastikan berarti, ya?

"Dan lagi," lanjutnya, "semua tergantung niatmu. Kau tadi bilang apa? Berbuat baik untuk menyamarkan kejelekan? Ah, kau ini, kalau posisiku menjadi dirimu, aku pasti niatnya 'Lillahita'ala'. Karena, kalau ingin kebaikanmu itu tidak sia-sia, niatnya harus benar-benar murni, Lillahita'ala."

Emangnya aku selalu melakukan hal-hal yang unfaedah apa? Enak saja dia bilang sia-sia.

"Iya, iya." Respondku, ingin mengakhiri percakapan.

"Baiklah. Intinya, apa pun yang kau lakukan, pastikan hidupmu berarti". Tutupnya (kalau itu memang kalimat penutup), lalu menghilang.

Baiklah, terimakasih...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu