Donor Darah

          Terdengar olehku suara pengumuman bahwa “semua santri yang berumur 17+ dianjurkan untuk ‘donor darah’”. Aku, yang tidak tahu-menahu soal itu cukup mengabaikan saja. Akan tetapi, setelah melihat Trisno ~teman karibku~ datang dengan membawa bingkisan jajanan serta kalender, aku bertanya, “dapat dari mana?”
          “Dari donor darah,” jawabnya singkat. Aku pun penasaran, seperti apa sih, ‘donor darah’ itu?
          Sesampainya di sana, beberapa petugas PMI (Palang Merah Indonesia) datang menyambutku dengan ramah dan memberikan selembar kertas untuk mengisi biodata pendaftaran. Selesai mengisi, aku dipersilahkan untuk berbaring di atas kasur yang telah disediakan.
          Seorang perempuan (salah satu petugas PMI) mengeluarkan plastik infus dan terdapat selang yang di ujungnya sebuah jarum yang cukup besar. Ia mulai menancapkan jarum tersebut di lengan kananku. Terasa seperti ada ulat yang berjalan di dalam tanganku; pertanda darahku mulai disedot.
          Cukup lama, hingga akhirnya aku melihat plastik infus di sebelahku telah terisi penuh, gemuk, bak bantal. Melihat darahku terkumpul segitu banyaknya, entah kenapa kepalaku terasa pusing, pandanganku menjadi kabur. Inikah ‘efek sampingnya?’.
          “Alhamdulillah, selesai,” ucap perempuan tadi. Ia menyodorkan minuman ABC kacang hijau kepadaku.
          “Silakan diminum, Kang, biar gak lemes.” Tawarnya. Dicabutnya selang infus dari tanganku, lalu ditekuknya tanganku. “Lima menit,” katanya. Mungkin untuk menyumbat darah yang mengalir keluar. Ia mengeluarkan bingkisan jajanan dan satu kalender persis yang dibawa Trisno tadi, dan diberinya selembar kertas kecil kepadaku, yang bertuliskan, “Suatu kebanggaan apabila dapat menyelamatkan jiwa seseorang melalui DONOR DARAH SUKARELA”. Aku baru sadar bahwa donor darah ini ditujukan untuk orang-orang yang lebih membutuhkan. Aku jadi teringat kata-kata Pras dalam novel ‘Surga Yang Tak Dirindukan’, yaitu; “Bukankah menyelamatkan jiwa satu muslim kita telah menyelamatkan muslim sedunia”. Sungguh naifnya diriku jika datang mendonorkan darah hanya untuk ditukarkan bingkisan jajanan. Kalau begitu niatnya aku ganti, “ikhlas menyumbangkan darahku untuk menyelamatkan jiwa seseorang (siapapun itu) Lillahita’ala.”
          Lima menit telah berlalu, tiba-tiba kepalaku menjadi sangat pusing. Aku pun bertanya, “Mbak, kok pusing, ya?” Jawabnya, “Kalau begitu dibuat tidur saja, Kang.”. Badanku mulai terasa tak seimbang, dan… ‘Tak perlu disuruh; tubuhku langsung merespond’. Ya, aku tak sadarkan diri. Hanya sebentar, kira-kira 3 menitan.
          Tubuhku terasa sangat lemas, wajahku tampak pucat. Sekembali ke asrama, teman-teman pada heran melihatku.
          “Edan kamu, Yum, nekat banget kamu. Itu sama saja bunuh diri secara perlahan, tau!” Kata salah seorang dari temanku. Aku hanya tersenyum kecut. Dalam hatiku menjawab, “Biarin! Aku ikhlas lillahitaala”. Kalau pun aku mati, aku berharap ‘syahid’ karena niatku menyelamatkan orang lain. Buktinya masih hidup, nih, masih kuat nulis hingga sejauh ini. Karena aku yakin, ‘‘perbuatan baik akan dibalas lebih baik”. Gusti Allah maha ‘adil’.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu