Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

Fana (prosa(

  “Masihkah ada jiwa yang terbelenggu waktu merana? Masihkah ada akal yang tertipu indahnya pesona? Masihkah ada, hati yang keras tanpa merasa hina? Jikalau engkau sadar, semua hanyalah fatamorgana yang tak kunjung sirna.” Yumin Hoo.                                   Tiada “ Tentang jiwa yang seharusnya tak pernah ada. Jiwa yang hidup namun dianggap mati; jiwa yang berisik namun terdengar sepi.” Pernah kau melihat angin? Banyak persepsi yang menggambarkan tentang angin. Beragam bentuk melintas di dalam angan. Angin dan angan merupakan kolaborasi yang menarik; angin di dalam angan. Hanya itu yang tergambar. Aku ingin menjadi angin; yang faktanya ada namun tak kasat mata; yang tak kasat mata namun bisa dirasa; yang bisa dirasa dan juga dipercaya.                                     Ragu “Batas yang tak kunjung disentuh, menjadi buram dan semakin transparan.” Terkadang fakta tak sejalan dengan pikiran. Ketika dihantam masalah, akal selalu menyangkal; ketika dihidangkan tempe, a

Vaksin Zombie (cerpen)

 Banyak hal yang tidak tertulis. Perihal fakta yang mengambang dalam kehidupan. Dan aku, tetaplah mengendap di dalam awan. Fakta tersebut seolah jauh terbentang. Aku tak mampu meraihnya meski ada di hadapan.  Tahun 2021 di bulan Desember. Bumi seolah kiamat. Bermula dari  Januari  2019, jutaan tentara tak kasat mata menyerang dunia. Pasukan makhluk mengerikan  hingga kini tak kunjung sirna. Banyak mayat tercecer di pinggiran jalan yang tak lagi berupa orang. Tidak ada yang berani menyentuhnya meski dengan pakaian pengaman. Inilah hidupku yang berada di penghujung zaman. “Satu kata yang mewakili perasaanmu?” Pinta temanku di layar kaca genggam. “Shit, Man! Aku bisa gila jika terus mengendap di rumah!” Umpatku kepadanya. “Ahhahaa.. kau pun mewakili perasaanku. Aku senang berteman denganmu.” “To the point! Apa maksudmu menelponku?” Tanyaku tak sabaran. “Aku punya informasi yang menarik.  Datanglah ke rumahku, akan kuberitahu rahasia.” Jawabnya singkat, lalu mematikan telepon.

Perlahan (prosa)

 “ Perlahan bayangmu memudar, tertiup waktu dan melayang ke simpang. Perlahan senyummu melebur, terkupas lupa yang kian menerpa. Perlahan sosokmu menghilang, tertutup jarak di ujung barak. Kita melupa.” Yumin Hoo.                                     Waktu “Imajinasi adalah mesin waktuku. Dengannya aku bisa pergi ke mana pun aku mau. Nahasnya, ia hanya mau kembali ke masa lalu sekadar untuk melihatmu.” Salahkah kita bila terbentang? Seolah bumi tidaklah rela dengan tangan mencengkram. Teramat jauh, juga lama. Hingga kita sama – sama melupa; menjadi timur dan barat yang tak pernah  menyapa, sebab sulitnya mengungkap kata. Waktu, dialah penyebab hilangnya rasa. Andai dia bisa kembali, aku takkan segan memelukmu erat. Namun tanganku tak lagi mampu menggenggammu. Waktu hanya mau berjalan maju, tak bisa berhenti maupun kembali. Kalau pun bisa, aku hanya cukup menutup mata seraya mengubah hari di tempat yang sama. Kita duduk di bibir pantai, mencengkeram erat sela – sela jemari, sembari mena

Cerita Kakek di Kala Senja (cerpen)

  Ini tentang Kakek yang telah berusia 92 tahun. Bernafas sendiri tanpa ada sandaran hati; tak ada canda tawa terbagi rapi; tak ada kisah lama yang bisa disebar lagi; tak ada harapan di ujung usia kini. Hidupnya sepi, sesepi.. kuburan.  “Untuk apa umur yang panjang bila tidak ada kebaikan?” Gerutu kakek di teras rumah. “Untuk apa berdiam diri di depan teras bila tidak melakukan apa –apa?” Balas Singgih –cucu yang cerdas dan baik hati. Si Kakek hanya diam, wajahnya yang seolah datar meratapi nasibnya. Singgih diutus kedua orang tuanya untuk selalu datang setiap sore di rumah Kakek, sekadar membersihkan rumah, memasak air dan nasi, lalu mendengarkan celotehan Kakek hingga petang tiba. Sebenarnya Kakek adalah orang kaya, punya lahan luas, juga lima anak yang pandai dan sukses di berbagai macam bidang. Pernah suatu ketika Singgih bertanya perihal masa lalu Kakek. Tanpa segan Kakek menceritakan segalanya, bahkan derita terdalamnya sekalipun. “Zaman dulu, sebelum muncul yang namany

Cinta dan Tragisnya Janji (cerpen)

"Mungkin secara naluri kisah ini akan membawa banyak ambigu dan tak ada pesan yang bisa menggambarkan makna kehidupan. Namun jika pikiranmu tak mau dibilang mati, maka temukanlah makna yang tersirat." "Jika bisa dibilang cinta, maka hanya pembuka yang mampu melukiskan kisahnya. Selebihnya terlihat nyata bahwa kisahku sangatlah tragis." Muttaqin. Pagi hari di jam istirahat, aku menyepi di sudut perpustakaan. Membaca novel karya Yonezawa, Hyouka, melamunkan kejadian heroik yang penuh teka – teki. Cukup lama. Hingga terasa sofa panjang yang kududuki seperti merosot. Ternyata wanita berkerudung ungu bersandar di sebelahku. Menyapaku dengan ramah, dan menyatukan kedua telapak tangannya, sekadar isyarat untuk memberi salam dan perkenalan.             “Jannah,” katanya, memulai perkenalan.             “Muttaqin, atau bisa kau panggil Taqin.” balasku dengan sedikit gemetar.             Perkenalan yang singkat. Aku kembali tenggelam dalam buku, dan ia sibuk berenang

Asa (prosa)

     “Untukmu, cahaya indah yang bernyawa, izinkanlah aku menulis untukmu, tentangmu; meski kutahu takkan sampai di pelukan jemarimu, atau bahkan mengendap di dalam awan, sinarmu takkan lenyap ditelan waktu.”   Yumin Hoo Tentangmu       “Seberkas kisah yang dibungkus dengan rekat, terurai lembut dihempas sinar yang hangat. Tentangmu, cahaya yang tak mampu kuraih dengan tangan, akan kupeluk dalam angan.”   Kehidupanku adalah serangkaian repetisi yang dipenuhi kebosanan. Kisahku tertulis monoton dalam catatan harian. Tak ada yang istimewa, tak ada yang menarik. Hari – hariku yang sebenarnya adalah kepalsuan. Dan aku terjerumus di dalam kesepian. Ada yang kurang dari catatan yang sebenarnya. Seolah kepingan puzzle tidak tersusun rapi di dalamnya. Aku mulai mencari dan menemukan hal yang ganjal; aku menemukanmu. Kepingan yang berantakan memanggilku untuk menyusunnya. Hingga terbentuklah mata, bibir, dan wajahmu yang utuh. Kini, waktuku tak lagi dipenuhi kesunyian. Ada senyummu yang bersina