Menjadi Yang Layak
Oleh: Yumin Hoo
            Malam, selalu memberikan kesejukan dan ketenangan bagi hati dan pikiran yang sedang ganduh akan banyak permasalahan. Apalagi masalah ‘cinta’. Cinta terkadang membuat seseorang tersenyum sendiri kala sedang bahagia, cinta juga terkadang membuat orang menangis kala bersedih. Cinta dapat menjadikan yang pahit menjadi manis, lemah menjadi kuat, sakit menjadi sehat. Dan cinta pula yang dapat menjadikan yang suka menjadi benci, baik menjadi jahat, dan yang sehat ~akalnya~ menjadi gila. Sebenarnya kehidupan ini sederhana, namun segalanya dapat berubah dengan drastisnya hanya karena satu kata -Cinta.
            “Apa? Aku gak salah dengar, kan?” Tanya Ibad tak percaya.
            Adib memutar bola matanya, sebal. Udah tau dari tadi serius cerita panjang lebar, malah ekspresinya begini.
            “Emang kenapa?” balas Adib balik bertanya. Yang ditanya memasang wajah curiga.
            Sambil menempelkan punggung tangan kanannya ke dahi Adib, Ibad tersenyum seraya memejamkan mata. Adib merasa temannya ini mempermainkannya.
            “Apaan sih, Bad! Main tempel-tempelan tangan segala”
            “Hmm.. kamu sekarang lagi sakit, nih”
            “Sakit? Apaan, sih? Wong sehat gini, dibilang sakit”
            “Bukan, bukan, maksudku kamu sekarang emang beneran sakit”
            “Aku gak mengerti..?”
            Sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Adib, Ibad berbisik
            “Kamu sedang dirundung penyakit cinta”
            Demi mendengarnya, Adib malah senyam-senyum sendiri. Ibad semakin heran dengan temannya yang satu ini.
            “Kamu enggak marah?” Tanya Ibad
            Adib tidak menjawab. Masih sibuk tersenyum dengan pikirannya yang entah membayangkan apa. Ibad merasa bukan main perasaan kawannya ini. Sebab cinta sampai segitunya, pikir Ibad.
            “Ah, udah gila kali ni orang” cetus Ibad sambil membalikkan badan hendak meninggalkan Adib. Tapi, sebelum ia melangkahkan kaki, tiba-tiba Adib menarik lengannya dan memutar balikkan badannya.
            “Bad, bisa minta tolong, gak? Please..” Pinta Adib. Sengaja memasang wajah melas. Ibad hanya mendengus sebal.
            “iya.. semampuku. Apa?”
            “katanya Mbakmu mondok di sini juga, kan?”
            “iya..?”
            “Nah, pas banget. Besok hari jum’at, kan?”
            “He’em.. Langsung ke inti, kenapa? Basa-basi segala!”
            “hehe.. Sabar Bad, sabar.., besok kalau orang tuamu kunjungan ke sini, tolong, Anu.. Hmm..” Adib agak ragu mengatakannya.
            “Alah, kelamaan!” Ibad kecewa lalu pergi meninggalkan Adib.
            Sebelum Ibad jauh dari pandangan. Adib segera berlari menyusulnya dan berhenti di depannya membentangkan kedua tangannya sebagai isyarat menyuruh berhenti.
            “Yaelah, ini orang jengkelin banget, sih!” gumam Ibad dalam hati.
            Tanpa pikir panjang, Adib berkata terus terang
            “aku hanya minta tolong satu hal”
            Adib merogohkan tangannya kedalam saku bajunya, dan dikeluarkannya selembar kertas yang telah dilipat rapi. Diberikannya kertas tersebut kepada Ibad.
            “ini. Tolong kirimkan kertas ini ke Nur Azizah lantaran Mbakmu ya.. Bisa, kan?”
            “itu saja? Yaelah, cuma gara-gara kertas aja sampai segitunya”
            Diambilnya kertas pemberian Adib. Lalu pergi menuju tempat makan bersama. Asal Ibad tahu, semalam suntuk Adib tidak bisa tidur hanya kerena merangkai beberapa kalimat yang ia tuangkan di kertas tersebut.
            Sesampai di tempat makan, sungguh malang. Mereka berdua telah kehabisan jatah makanan malam itu. Habis tak tersisa.
            “Kan, gara-gara dengerin cerita gilamu kita jadi kehabisan jatah!” keluh Ibad sebal.
            Adib hanya cekikikan. Sampai tiba-tiba perutnya mengaung. Sekarang giliran Ibad yang tertawa.
            “Hahaha.. Makan tuh, Cinta!”
***
            Adib merasa ada yang menepuk-nepuk pipinya. Dan, hei! Suara perempuan?
            “Mas..Mas, bangun, Mas!”
            Perlahan Adib membuka matanya. Agak buram nampak wajah seorang wanita berjilbab. Wanita? Adib belum sepenuhnya percaya. Dan pula belum jelas antara mengantuk dan sadar. Ia kedipkan matanya berkali-kali, semakin jelas!
            “A', A..zizah?” Adib kaget dan langsung berdiri menjauh, membalikkan badan, tak percaya. Perlahan ia menoleh ke belakang, terlihat Azizah sedang tersenyum kepadanya. Secepat kilat ia menoleh ke depan lagi. Hatinya berdesir hebat, jantungnya berdetak cepat dan kuat.
            Azizah berjalan mendekat dan menyerahkan handuk kepadanya.
            “Mandilah dulu, Mas. Setelah itu nanti kita makan bersama.”
            Dengan berbagai perasaan yang berkecamuk tak karuan, Adib mencoba menarik nafas dalam-dalam lalu dikeluarkannya pelan-pelan. Setelah agak tenang, ia mencoba untuk tersenyum dan menerima handuk yang diberikan. Dengan santai Adib berjalan keluar kamar. Setelah membuka pintu, Adib takjub. Rumah siapakah ini? Ruang keluarga yang begitu luas, berhias berbagai aksesoris yang mewah. Dapurnya pun tak kalah luas, dengan berbagai perabot yang mewah.
            “Rumah siapa ini?” Tanya Adib penasaran
            “ini rumah kita, Mas” jawab Azizah dengun senyum khasnya yang memikat.
            Sekali lagi, Adib hampir tak percaya dengan apa yang dialaminya saat ini. Dengan cepat ia segera menepis segala pertanyan yang ada di kepala. Anggap saja semuanya telah terjadi. Adib berjalan menuju ruang tamu. Ia penasaran seperti apakah bentuknya. Tapi, sebelum ia sampai ke sana, Azizah memanggilnya
            “Eh, Mas. Kamar mandinya di sana” kata Azizah sambil menunjuk ke arah dapur.
            “oh ya, deng!” kata Adib gugup sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lupa sudah kalau niatnya tadi mau mandi.
            Sesampai di kamar mandi, demi melihat bak mandinya yang kosong, spontan ia bertanya
            “loh, kok gak ada airnya?”
            “di atas bak ada keran airnya, Mas. Tinggal diputar saja.” kata seseorang di balik pintu kamar mandi yang tak lain Azizah.
            Ketika Adib memutar kerannya, tidak ada setetes air pun yang keluar. Adib penasaran, dicopotnya keran yang menyatu pada selang. Tak ada yang keluar juga. Ia semakin heran. Ia dekatkan telinganya ke moncong selang. Terdengar suara gemericik air. Semakin lama semakin jelas! Lalu ia mencoba mengintip ke dalam selang. Bagai meriam, dengan cepatnya air mengalir dari balik selang menyemprotkan sasaran. Dan...
            ‘BYUURR...’
            “AZIZAH!!!”  teriak Adibu sambil mengusap wajahnya yang basah. Dilihatnya kawan-kawan berdiri melingkarinya.
            “cyee.. yang lagi edan cinta. Sampe namanya disebut jadi ganti doa bangun tidur” ucap salah seorang yang sedang membawa gayung. Teman-teman yang lain tertawa.
            “kurang ajar kamu, Bad!”
            “enggak lihat tuh, udah jam berapa?” tunjuk Ibad ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 05:45 WIB.
            “waduh! Kenapa aku enggak digugah? Kan, sekarang aku harus qodo’”
            “tadi udah dibangunin pengurus, kamunya aja yang tidur kayak kebo”
            Teman-teman yang lain tertawa lagi. Adib tidak perduli, ia segera bangkit menerobos kawan-kawannya berjalan menuju kamar mandi. Mengambil air wudlu.
            Selesai sholat, Adib berdoa “ Ya.. Allah, ada apa dengan hamba? Hamba merasa hati dan pikiran hamba sedang diteror. Kenapa hamba selalu merasa tidak nyaman? Perasaan apakah ini? Wahai Dzat yang maha mengetahui, tunjukkanlah kepada hamba jalanmu yang lurus. Jika apa yang hamba lakukan salah, maka ingatkanlah, Ya Allah.. Astaghfirullah...” Adib meneteskan air matanya, berharap keajaiban datang.
***
            ‘Satu minggu kemudian…’
            “Bad, gimana?” tanya Adib
            “apa?’’
            “itu, lho...” jelas Adib sambil menaik-turunkan alisnya.
            “yaelah, mulai lagi.. langsung, kenapa!”
            “hehe.. iya, iya..itu, lho,  suratku dibalas gak?”
            “mana aku tahu lah! Lebih baik kamu itu enggak usah berharap lebih. Mana mau Azizah, gadis yang terkenal sholehah itu membalas surat dari orang yang gak jelas tujuan hidupnya kayak kamu!”
            Sungguh, bak tersambar petir, kalimat tersebut terasa panas di telinga Adib. Membakar hangus harapan yang setiap hari dipupuk dengan cinta, kini lenyap seketika. Adib mematung, tatapannya kosong, diam seribu bahasa.
            “Dib.. Adib. Kamu gak papa, kan?” Ucap Ibad sambil menepuk pundak Adib. Adib tersentak, lalu menundukkan kepala. Menyembunyikan segala kekecewaan.
            “benar kamu, Bad. Mana mungkin Azizah mau membalas surat dariku. Aku sadar bahwa, selama ini aku salah. Aku.. tidaklah pantas untuk bersanding dengannya. Orang sepertiku tidaklah layak untuk dicintai. Aku..” Adib terisak, tak kuat menahan rasa sesal di hati. Ibad menatapnya simpati.
            “janganlah merendah begitu. Bukan maksudku begitu, maafkanlah kata-kataku tadi yang..”
            “tidak, Bad!" potong Adib. "Kamu gak salah, kok. Terimakasih telah mengingatkanku.” Kali ini ia mencoba untuk tersenyum.
            “aku sadar. Memang seharusnya begini. Inilah jawaban Tuhan atas pertanyaanku” lanjut Adib.
            “maksudnya?” Tanya Ibad tak mengerti
            “iya, aku telah bercermin dan melihat wajahku yang jauh dari kata ganteng, mendorong diriku untuk segera operasi plastik”
            “ayolah, Dib.. masih bisa juga kau bercanda!”
            Mereka berdua tertawa lepas. Tidak lama kemudian Ibad teringat lagi pertanyaannya yang mengganjal.
            “Eh, Dib”
            “apa?”
            “yang tadi belum kamu jawab”
            “Yang mana?”
            “Alah, jan ! kamu pura-pura lupa apa beneran amnesia, sih?”
            “hehe.. iya-iya. Paham kok. Seharusnya aku bersyukur, setelah mendengar jawaban Allah lantaran dirimu, aku jadi sadar. Mulai sekarang aku harus membenahi diri!”
            “Oh.. aku pun baru sadar sekarang”
            “sadar apa?”
            “setelah melihat apa yang kamu alami. Menurut analisisku; cinta hanyalah soal perasaan. Sejarah menunjukkan, pada kenyataan; ia hanya menyuruh kita untuh tabah dan erat memeluk kesedihan”
            “ngomong apaan, sih?”
            “hehe.. Just kidding”
            “benar juga, sih. Tapi aku kurang setuju”
            “kenapa?”
            “Cinta tidaklah begitu. Semua tergantung kita yang menyikapinya” jawab Adib mantap.
            Cukup sederhana, bukan? Janganlah cepat menyalahkan keadaan jika belum memahami persoalan. Tuhan maha bijaksana. Ia tidak mengirimkan suatu cobaan pada kita melainkan untuk memberi suatu pelajaran yang sangat berharga(bagi yang mau merenungkannya). Yang mungkin saja dapat mengubah hidupmu selamanya. Semua tergantung kita yang menyikapinya.
RAMPUNG…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya

Tenang

Mencandu